DAKWAH MULTIKULTURAL DIPONDOK PESANTREN
PEMBAHASAAN
A. DAKWAH MULTIKULTURAL DIPONDOK PESANTREN
Dakwah secara bahasa berasal dari kata “da’a- yad’uu- da’watan” yang berarti ajakan, panggilan dan seruan. Secara istilah menurut oleh Hamzah Yaqub sebagaimana yang dikutib Asmuni Syukir, dakwah bisa berupa ajakan kepada kepada manuasia agar mengikuti ajaran dan petunjuk Allah dan rasul-Nya dengan hikmah dan bijaksana. Definisi lain, seperti yang dikemukakan oleh Tim Proyek Penerangan dan Dakwah Depatemen Agama RI, dakwah berarti segala usaha untuk menciptakan suasana kehidupan ke arah lebih baik dan layak sesuai dengan prinsip kebenaran. Menurut penulis dakwah, adalah segala aktivitas seorang muslim yang dilakukan dengan sadar untuk mengajak orang lain menuju kepada kebaikan diri dan lingkungan, dengan lisan, tulisan dan tindakan nyata untuk memperoleh Ridha Tuhan.[1]
Dari beberapa pengertian tentang dakwah, maka yang dimaksud dengan dakwah pesantren adalah, segala aktivitas yang dilakukan oleh lembaga pesantren dalam mengajak atau mempengaruhi orang lain ( para santri ) atau masyarakat di lingkungannya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik (akhsan) di berbagai bidang kehidupan, melalui media lisan, tulisan dan lainnya demi memperoleh ridha Allah SWT. Karena pesantren adalah lembaga pendididikan untuk belajar dan memperdalam agama (tafaquh fi al-din) tentu dakwahnya lebih ditekankan pada aspek ta’lim (pengajaran) dan praktek ibadah (ubudiah) seperti mendidik para santri untuk membiasakan shalat lima waktu secara berjamaah, mengajarkan etika pergaulan yang baiki (akhlak al-karimah) terhadap guru, teman, dan lingkungan sosialnya.
Sebagai lembaga yang mendidik calon ulama sebagai pewaris para nabi, Pesantren memiliki peran strategis di tengah masyarakat yang mayoritas muslim. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan pesantren sudah dikenal sejak keberadaannya sebagai lnstitusi yang memproduk da’i-da’iyah yang menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia yang dahulu memeluk Hindu dan Budha dan secara berlahan merubahnya menjadi pengikut Islam yang setia. Dengan kata lain Islamisasi yang terjadi di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran pesantren.
Keberadaan sebuah pesantren menurut Anis Masykhur setidaknya mengemban tiga misi; misi sosial, misi dakwah dan misi pendidikan. Namun dalam perkembangannya, peran pesantren tergerus hingga terkosentrasi ke dalam salah satu aspek saja. Misalnya pendidikan, atau dakwah saja. Sedangkan aspek ekonomi dan sosialnya nyaris terabaikan. Untuk mengembalikan fungsi-fungsi tersebut menurut penulis harus ada penyadaran kembali kepada pemimpin pesantren akan visi dan misi dalam mendirikan dan mengembangkan pesantren yang mereka bangun. Pemahaman ulang ini penting sebagai acuan para pemilik pesantren dan pengasuh agar pesantren bukan saja membekali santrinya dengan ilmu-ilmu agama ansih, tetapi juga melatih menjadi menjadi seorang da’i profesional sekaligus juga punya ketrampilan di bidang usaha, sehingga para santri akan memiliki kemandirian dan bekal yang cukup untuk bisa eksis di tengah masyarakat.[2]
Menurut Abdurrahman Mas‟ud dakwah pesantren atau amar ma‟ruf
nahi mungkar pesantren tidak saja diimplementasikan dalam kata-kata tapi juga dengan tingkah laku , aksi atau dakwah bi al- hal. Dalam hal ini dunia pesantren telah melakukan peran Islamisasinya dalam bidang pendidikan, budaya, sosioekonomi, serta tranformasi. Potensi besar dunia pesantren untuk memberdayakan masyarakat telah melahirkan kesempatan baru , dan sekaligus memperkokoh peran pesantren sebagai lembaga mandiri , tidak banyak tergantung dengan pihak luar.
Seiring dengan dinamika perjuangan dan peningkatan Sumber daya Pesantren, dewasa ini para alumni pesantren sudah banyak yang terlibat dalam lingkaran kekuasaan, dan mengambil peran strategis dalam percaturan politik di tanah air. Sebagai contoh ketua KPU Khafid Anshori, ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Menteri daerah Tertinggal Muhaimin Iskandar, adalah alumni pesantren. Belum lagi sejumlah pejabat politik mulai dari walikota, bupati, gubernur banyak juga yang berlatar belakan pendidikan pesantren.[3]
Namun demikian pesantren masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat untuk memaksimalkan perannya sebagai lembaga lembaga dakwah. Apalagi kalau dihubungkan dengan radikalisme agama yang dialamatkan kepadanya. Melihat berbagai pendapat yang mendorong lahirnya radikalisme di masyarakat seperti : Sempitnya pemahaman agama, faktor ekonomi, kemiskinan, iri hati , ketidak adilan dll, maka dakwah pesantren perlu dipertajam untuk menjawab isu-isu tersebut. Guna mengeliminir permasalahan tersebut perlu dilakukan gerakan dakwah dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, pesantren perlu memberikan wawasan Islam yang benar dan moderat yang menghargai perbedaan dan keanekaragaman pendapat kepada para santri dan masyarakat di sekitarnya (dakwah multikultural). Menjauhkan dari sikap dan pendapat paling benar, paling otoritatif, apalagi sampai paling berhak masuk surga Tuhan. Sebuah klaim yang pasti tidak disukai oleh Nabi Muhammad seandainya beliau masih hidup. Karena kebenaran hakiki , Surga Neraka adalah hak perogratif Allah.
Kedua, langkah berikutnya melakukan deradikalisasi paham
keagamaan masyarakat dalam rangka meningkatkan keagamaan yang moderat (mutawasit). Caranya adalah dengan meluruskan makna jihad bahwa jihad tidak selalu identik dengan perang melawan orang kafir. Tetapi bisa bermakna bekerja keras dan sungguh-sungguh untuk melawan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan. Menurut KH. Ali Mustofa Ya‟kub, ajaran agama tentang perang hanya boleh diterapkan dalam kondisi perang. Perbedaan agama dan keyakinan tidak boleh dijadikan alasan bagi orang Islam untuk berperang melawan penganut agama lain. Sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam tidak hanya memberikan perlindungan keamanan bagi kaummuslimin saja, tetapi juga melindungi semua orang baik muslim, maupun non muslim.
Ketiga, untuk menjawab problem ekonomi khususnya bagi para alumni pesantren agar tidak menjadi pengangguran yang berakibat pada perilaku negatif, karena pada umumnya pelaku terorisme dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang memadai. Dalam hal ini perlu ada pembekalan dan pelatihan-pelatihan ketrampilan dan keahliah kepada para santri yang bernilai ekonomi yang bisa dipraktekkan dan dikembangkan di masyarakat. Untuk melakukanya pesantren bisa bekerja sama dengan lembaga pemerintah atau suasta seperti Balai Latihan Kerja, Dinas Koperasi danUKM, dunia usaha dll. Sudah saatnya para santri dibukakan wawasan dunia kerja dan berwira usaha dengan nilanilai agama Islam disamping kosentrasi keilmuan yang menjadi fokus kajian di pesantren.
Keempat, menyesuaikan dengan tuntutan dinamika yang terjadi di
masyarakat yang semakin berkembang pesantren perlu memutaakhirkan kurikulum ke arah keterpaduan antara IPTEK dan IMTAK secara bersamaan. Dengan demikian out put dari alumni pesantren adalah manusia yang memiliki sumberdaya yang shaleh lahir dan batin.
Kelima, membangun kemandirian, salah satu keunggulan lembaga
pesantren adalah melatih dan membangun jiwa yang mandiri bagi para santrinya. Para santri yang dikirim orang tuanya ke pesantren pada umumnya ada harapan yang melekat para orang tua santri, yakni anak-anak mereka akan memiliki jiwa yang mandiri dan tidak terlalu tergantung dengan orang tua dalam urusan-urusan menyangkut kebutuhan seperti makan,minum, pakaian, dll. Jiwa kemandirian ini harus diperkuat dan dikembangkan lagi di pesantren, karena jiwa yang mandiri ini yang akan melahirkan manusia yang tidak tergantung kepada siapapun dan menjadi modal penting bagi kehidupan para santri dalam menjalani kehidupan selanjutnya.Dan terbukti pendidikan kemandirian yang dilakukan pesantren menghasilkan para alumni yang tidak menggantungkan hidupnya pada pemerintah dan pihak lain. Mereka bekerja di sektor suasta, seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, dan sebagian di dunia pendidikan mendirikan pesantren, menjadi ustad, guru ngaji, dan ada yang menjadi politisi. Hal ini berbeda dengan alumni pendidikan di sekolah formal yang banyak menantikan kebaikan pemerintah untuk diangkat menjadi pegawai negeri, yang karena keterbatasan tenaga yang dibutuhkan, kemudian sebagian besar menumpuk menjadi penganguran terdidik.
Keenam, untuk menanggulangi radikalisme agama, pondok
pesantren perlu membangun jaringan kerja sama dan komunikasi dengan berbagai pihak, baik internal pondok pesantren melalui organisasi Robitoh Ma’ahid al-Islamiah (RMI) atau Badan Koordinasi Pondok Pesantren (BKPP), dengan saling memberi informasi mengenai berbagai gejala yang mengarah pada lahirnya kelompok radikal di lingkungan masing-masing. Membuat laporan kepada Kantor Kermentrian Agama terdekat, kepada aparat aparat yang terkait ,ketika ditemukan indikasi perilaku radikal yang perlu diwaspadai.
Dari hasil seminar tentang Peran Pesantren dalam Membangun Budaya Damai pada tanggal 14-15 Juli 2009 di Lampung yang diselenggarakan oleh Balitbang danDiklat Puslitbang Kementrian Agama, merekomundasikan hal-hal sebagai berikut : Pertama, memasukkan materi dakwah tentang jihad yang benar dalam kurikulum pesantren; Kedua, menjaga semaksimal mungkin agar faham radikal tidak masuk dalam pondok pesantren atau lingkungannya; Ketiga, memberikan pelajaran toleransi (tasammuh) yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah; Keempat, meningkatkan kerja sama yang lebih baik antar pondok pesantren dengan pemerintah; Kelima,mengfungsikan kembali Badan Koordinasi Pondok Pesantren (BKPP) ; Keenam, pimpinan pondok pesantren harus mengenal teknologi jangan gaptek.
Sementara hasil lokakarya tentang Peran pesantren dalam membangun Budaya damai yangdiselenggarakan Balitbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama yang bekerja sama dengan pondok-pondok pesantren di Semarang, memberikan catatan antara lain:
1. Perlunya mensosialisasikan pemahaman keagamaan yang moderat, yang menghargai hak-hak multikultural warga masyarakat sebagai upaya conter terhadap budaya kekerasan atau cara pandang yang mentoleril kekerasan.
2. Mengajarkan agama yang humanis bagi kaum muda non pesantren dan masyarakat luas pada umumnya,dengan cara menambah buku-buku bacaan atau majalah yang membahas isu-isu keagamaan yang bisa dijadikan referensi para pelajar dan mahasiswa.
3. Mengupayakan dialog antara pesantren radikal dengan pesantren tradisional. Dialog dilakukan dengan tanpa pretensi menghakimi, tetapi semata-mata untuk saling memahami. Disinilah antar kelompok akan merasa „saling masuk‟ dalam wilayah patner dialognya. Dalam kajian atropologis cara demikian diserbut dengan emic (to see from the inside looking). Dengan demikian jika memandang kelompok lain „menyimpang‟ , maka akan disadarkan, (bukan dikalahkan) lewat bahasa agama, bahwa ada yangsalah dalam menerapkan ajaran agama”.
Yang tidak kalah penting dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pesantren dalam melakukan dakwah baik dengan lisan, dengan pena atau pengajaran dan dakwah dengan perbuatan, yaitu faktor kepemimpinan dari pengasuh pondok itu sendiri. Yang dimaksud faktor kepemimpinan disini bahwa, wawasan pengetahuan, keilmuan dan hubungan seorang kiai dengan dunia luar pesantren akan menentukan corak atau warna faham keagamaan yang ada di pesantren tersebut. Dengan demikian seorang pemimpin pesantren haruslah memiliki wawasan yang luas, banyak belajar utamanya ilmu-ilmu di luar pesantren, seperti ilmu sosiologi, antropologi, komputer, dll,termasuk ilmu politik. Hal ini dimaksudkan agar kiai juga tahu perkembangan yang terjadi di masyarakat dan dunia. Pemahaman akan politik dimaksudkan agar jangan sampai kiai dijadikan obyek bagi petualang politik yang mengambil manfaat sesaat dengan memanfaatkan pesantren.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional tertua di Indonesia yang konsentrasi dalam mendalami ilmu agama dan lainnya, yang keberadaannya masih eksis sampai sekarang.Bahkan pesantren kini menjadi pilihan banyak orang tua untuk mendidik anaknya menjadi anak-anak yang shalih..
Sejak keberadaanya, pesantren selalu memberi sumbangan
dalam melakukan dakwah secara damai dengan mengajarkan hidup rukun, saling menghargai (tasammuh) kepada orang lain, dan menjauhi cara-cara radikal . Kalau ada pesantren yang radikal itu bukan asli produk Indonesia, tetapi sudah terpengaruh dengan faham dari luar.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang out pu-tnya melahirkan kader-kader da’i yang menjadi penerus ulama dan para nabi. Karenanya pesantren memiliki peran strategis untuk menentukan masa depan perkembangan dakwah di Indonesia, termasuk corak faham keagamaan yang ada di masyarakat
Dengan variasi pemahaman pendapat yang berbeda-beda dalam kazanah pesantren, dimungkinkan akan lahir da’i yang memiliki wawasan yang multikultural yang dibutuhkan dalam dakwah di masyarakat yang beragam seperti diIndonesia.
[2] Anis Masykhur, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren, Barnea Pustaka, Depok,2010, hal. 61 . Untuk lebih jelas bisa dibaca juga dalam disertasi HM. Suparta, “Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Studi Kasus Pondok Pesantren Maskumambang Gresik Dan Al-fatah Temboro Magetan” disertasi, (SPs UIN jakarta, 2008).