MAKALAH HUKUM HIBAH DAN WASIAT
BAB I
PENDAHUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wasiat, hibah merupakan instrumen penting dalam perancangan harta menurut undang-undang Islam. Wasiat ialah pemberian harta yang berlaku selepas kematian pewasiat. Hibah ialah pemberian harta yang berlaku semasa hidup pemberi hibah.
Kedua instrumen ini digalakkan dalam Islam, di mana sekiranya ia dilakukan dengan betul dan selaras dengan kehendak syarak maka ia boleh mengelakkan berlaku pertikaian dan perebutan harta. Melalui wasiat, hibah juga dapat membantu kaum kerabat yang memerlukan bantuan.
Hibah wasiat termasuk salah satu perbuatan hukum yang sudah lama dikenal sebelum Islam,walaupun pada sebagian periode sejarah ia sempat disalah gunakan untuk berbuat kezaliman.Pada masyarakat Romawi, umpamanya, wasiat pernah digunakan untuk melegitimasi pengalihan atau pengurangan hak kaum kerabat terhadap sesuatu harta dengan jalan mewasiatkan harta itu untuk diberikan kepada pihak lain yang tidak mempunyai hubungan nasab dengan pihak yang berwasiat. Akibatnya, ahli waris mendapat bagian harta warisan yang amat kecil, dan bahkan boleh jadi tidak beroleh bagian sama sekali.Dalam masyarakat Arab jahiliah,wasiat juga diberikan kepada orang "asing" yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berwasiat serta mengesampingkan kaum kerabatnya yang miskin yang amat memerlukan bantuan.
Sayuti Thalib merumuskan wasiat sebagai pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah dia meninggal kelak.Sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi, wasiat adalah memberikan milik yang disandarkan kepada keadaan setelahmati dengan cara sedekah atau derma. Demikian pulau lama penganutan mazhab Maliki menerangkan,wasiatyaitu suatu akad perjanjian yang menimbulkan suatu hak dalam memperoleh sepertiga harta orang yang memberikan janji tersebut yang bisa berlangsung setelah kematiannya.
B.Rumusan Masalah
1. Kedudukan Hibah dan wasiat dalam hukum islam,KHI, dan KUHPerdata
2. Hukum Hibah Dan Wasiat Menurut HI dan KUHPerdata
3. Ketentuan Hibah Dan Wasiat
4. Hikmah Hibah Dan Wasiat
C.Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui kedudukan Hibah Dan Wasiat tersebut
2. Untuk mengetahui hukum hibah dan wasiat tersebut
3. Untuk mengetahui ketentuan-kententuan hibah dan wasiat tersebut
4. Untuk mengetahui hikmah-hikmah Hibah dan Wasiat tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hibah Dan Wasiat
1. Kedudukan hibah dan wasiat dalam hukum Islam
Hibah dalam hukum Islam dipakai untuk memberikan sesuatu kepada orang lain baik pemberian itu berupa harta, maupun selain dari harta,hibah juga diartikan pula sebagai suatu pemberian barang tanpa nilai pertukaran serta tidak ada sebabnya hibah itu diberikan. Dan dapat pula memiliki arti akad ,pemberian harta milik dari pemilik harta kepada orang lain yang berakibat hukum perpindahan hak milik tanpa imbalan apapun, dimana baik pemberian hibah maupun penerima hibah masih dalam keadaan hidup. Hibah identik dengan sedekah dan hadiah. Ketiganya memiliki kesamaan sebagai suatu pemberian barang tanpa nilai tukar ekonomis. Hibah dan hadiah rata-rata ditunjukan sebagai bentuk penghargaan dan memuliakan orang yang diberi hadiah.
Wasiat dalam hukum islam merupakan suatu satu kesatuan yang umumnya tidak dapat dipisahkan dari hukum waris.wasiat sendiri merupakan hukum di mana seseorang memberikan suatu pernyataan dari kehendaknya sebelum meninggal untuk dilaksanakan ketika meninggal.
2. Kedudukan Hibah dan Wasiat dalam KHI
Sebagian ulama menafsirkan batasan hibah sama dengan wasiiatt ridak bolehh melebihi 1/3 dari harta warisP. Oleh karena itu lahh, KHI mengatur batasan hibah sama dengan wasiat, yakni maksimal 1/3. pasal 171 huruf ‘g’ kompiilasi hukum iislam (KHI) memberikan pengertian hibah sebagai pemberian sesuatu secara sukarela dan tanpa imbalan kepada orang lain yang masih hidup.
wasiat yang diatur oleh KHI dapat berupa orang-perorangan atau lembaga.
3. Kedudukan Hibah dan Wasiat dalam KUHPerdata
Sedangkan didalam Hukum Posistif, perihal hibah atau hadiah hampir memiliki pengertian yang sama dan diatur secara jelas didalam KUHPerdata.Didalam Pasal 1666 sd 1693 KUHPerdata diatur persoalan hibah. Pengertian didalam KUHPerdata tersebut, bahwa hibah adalah persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu, penghibahan tersebut adalah bagi kepentingan para pihak yang masih hidup
Yang juga penting diperhatikan dalam hibah menurut Hukum Positif adalah bahwa hibah dilakukan oleh orang yang sdh dewasa (bisa benda tetap maupun benda bergerak) dan diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil (dengan perantaraan wali/orang tua) dan dicatat dinotaris. Bahkan ketentuan didalam KUHPerdata, tentang pencatatan harta hibah diperkuat dengan PP No. 24/1997 tentang pemberian harta hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan ini sangat jelas karena telah terjadi peralihan hak dan dengan demikian maka hibah (atas benda tetap) menurut Hukum Positif tidak dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan pemberian berupa hibah yang menyebabkan “terdzolimi” hak ahli waris dapat dibatalkan (Lihat pasal 881) KUHPerdata. Hak ahli waris masuk kedalam kategori “legitieme portie” yaitu bagian mutlak atas warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dan dilindungi oleh Undang Undang (didalam Hukum Islam pemberian Hibah dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang ada—ini bertujuan untuk melindungi hak ahli waris dan jika melebihi ketentuan yang ada maka ahli waris dapat mengugat untuk membatalkan hibah dimaksud-Lihat Quran Al Ahzab/QS 33: 4-5 dan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam/KHI). Untuk menghindari gugatan dikemudian hari, biasanya notaris meminta persetujuan para ahli waris terhadap hibah yang akan dibuatkan aktanya.
Yang juga penting diperhatikan dalam hibah menurut Hukum Positif adalah bahwa hibah dilakukan oleh orang yang sdh dewasa (bisa benda tetap maupun benda bergerak) dan diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil (dengan perantaraan wali/orang tua) dan dicatat dinotaris. Bahkan ketentuan didalam KUHPerdata, tentang pencatatan harta hibah diperkuat dengan PP No. 24/1997 tentang pemberian harta hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan ini sangat jelas karena telah terjadi peralihan hak dan dengan demikian maka hibah (atas benda tetap) menurut Hukum Positif tidak dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan pemberian berupa hibah yang menyebabkan “terdzolimi” hak ahli waris dapat dibatalkan (Lihat pasal 881) KUHPerdata. Hak ahli waris masuk kedalam kategori “legitieme portie” yaitu bagian mutlak atas warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dan dilindungi oleh Undang Undang (didalam Hukum Islam pemberian Hibah dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang ada—ini bertujuan untuk melindungi hak ahli waris dan jika melebihi ketentuan yang ada maka ahli waris dapat mengugat untuk membatalkan hibah dimaksud-Lihat Quran Al Ahzab/QS 33: 4-5 dan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam/KHI). Untuk menghindari gugatan dikemudian hari, biasanya notaris meminta persetujuan para ahli waris terhadap hibah yang akan dibuatkan aktanya.
B. Hukum Hibah Dan Wasiat
a. Hibah
Dasar dan ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah (penerima hibah) tanpa adanya pengganti. Dan dasar hukum pemberian hibah terdapat dalam firman Allah Qur’an surat Al-Baqarah ayat 177 yang menjelaskan bahwa dalam memberikan harta diberikan kepada orang yang dicintainya,yakni kerabatnya,anak-anak yatim,orang-orang yang miskin,musafir(orang yang memerlukan pertolongan,serta orang-orang yang meminta-minta). Keutamaan hibah terdapat dalam Qur’an Al-Baqarah ayat 195 yang inti dari pada isinya berisi tentang agar supaya melakukan kebaikan serta harta yang dimiliki hendaklah diinfakkan kejalan Allah SWT,agar jangan melakukan kehancuran yang dibuat oleh diri sendiri, karena Allah menyukai orang-orang yang selalu berbuat kebaikan.
b. Wasiat
Sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini bahwa pada peringkat permulaan Islam hukum berwasiat adalah wajib yang terdapat dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 180.
C. Macam-Macam Hibah Dan Wasiat
a. Hibah
1) Hibah barang Ialah memberikan harta atau barang kepadda pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi(harapan) apapun.
2) Hibah manfaat Ialah memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu,namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hiah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja.hibah manfaat sendiri terdiri dari:
a) Hibah Muajjalah
b) Hibah Ariyah
c) Hibah Al-amri
b. Wasiat
Wasiat ada dua macam, yaitu:
1) Wasiat harta benda
2) Wasiat hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meniinggal yang dalam fiqih sering disebut ‘al-isa’ wasiat dalam bentuk tanggung jawa.
D. Ketentuan Hibah Dan Wasiat
Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab).
Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak. Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam.
E. Hikmah Hibah Dan Wasiat
a) Hibah
1. Melunakan hati sesama manusia
2. Menghilangkan rasa segan dan malu sesama jiran,kawan,kenalan,dan ahli masyarakat.
3. Menghilangkan rasa dengki dan dendam sesama anggota masyarakat.
4. Menimbulkan rasa hormat.
5. Menumbuhkan rasa penghargaan dan baik sangka sesama manusia.
6. Memudahkan aktiviti saling menasehati dan pesan-memesan dengan kebenaran dan kesabaran.
7. Dapat membina jejambat perhubungan degan pihak yang menerima hibah.
b) Wasiat
1. Menunjukkan ungkapa terimakasih dan balas budi orang yang berwasiiatt kepadaseseorang yang dianggap berjasa dalam membantu menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan si almarhum semasa hidupnya.
2. Menambah kebaikan untuk keluarga yang meninggal da orang yang meninggal tersebut.
3. Membesarkan jiwa serta melegakkan hati orang yang mendapat wasiat sehingga dengan wasiat tersebut seseorag dapat membebaskan persaannya yang negatif seperti rendah diri, dan lain sebagainya.
4. Mendukung kelangsungan program orang yang berwasiat seahingga dapat dilanjutkan dengan baik oleh orang yang diberi wasiat.
5. Mewujudkan keterrtiban dan kedamaian dalam masyarakat karea terwujudnya ketertiban dan kedamaian keluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wasiat, hibah merupakan dua instrumen penting dalam perancangan harta pusaka. Ketiganya mempunyai kedudukan yang tersendiri di dalam Islam dari segi hukum dan cara pelaksanaannya. Sekiranya ketiga instrumen ini diuruskan dengan teratur dan menepati kehendak syarak, maka nasib kaum kerabat terdekat yang memerlukan bantuan akan terbela. Begitu juga, ketiga instrumen ini boleh digunakan ke atas anak angkat, anak susuan, bapak angkat, ibu angkat dan sebagainya yang mempunyai hubungan kasih sayang yang rapat tapi tidak berhak mendapat harta pusaka. Ketidakfahaman masyarakat mengenai ketiga instrumen ini sering kali timbul masalah terutama pihak yang memberi wasiat, hibah mengalami kematian. Pertikaian ini berlanjutan sehingga menyukarkan penyelesaian harta pusaka dibuat. Sebagai umat Islam, kaedah dan cara-cara pengurusan yang betul mestilah menjadi amalan supaya tidak berlaku perpecahan dalam keluarga dan masyarakat hanya disebabkan oleh kejahilan menguruskan harta. Setiap orang ada haknya, jika kita menghormati hak orang lain maka hak kita juga akan dihormati, malah jika kita saling ridha meridhai dan bersedekah itu adalah lebih baik.
B. SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan partisipasi rekan-rekan atau pembaca berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Presindo, 1992.
Indah Purbasari. 2017. Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di Indonesia.Malang:Setara Press
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya,
1990.
Soedewi,SriMasjchoenSofwan,HukumPerdata:HukumBenda,Yogyakarta: Liberty, 2000.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 15, Jakarta: PT Intermasa, 1980. Suma,MuhammadAmin,HukumKeluargaIslamdiDuniaIslam,Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2004.