MAKALAH LEMBAGA ZISWAF


MAKALAH LEMBAGA  ZISWAF 

BAB I
PENDAHULUAN
    A.    LATAR BELAKANG
Zakat adalah perintah dinul Islam yang ke-4, untuk wajib dilaksanakan oleh setiap manusia yang mengaku dirinya sebagai seorang muslim, untuk menyalurkan dan mendistribusikan zakat dari tangan muzakki ke musthadid, maka perlu peran dari badan amil zakat sebagai lembaga penyalur zakat yang resmi dan amanah, sehingga peran fungsi dan dari lembaga tersebut dapat maksimal, dan selanjutnya akan berdampak positif terhadap umat Islam secara makro. Hal yang masih perlu digaris bawahi bahwa perenan fungsi manajemen dari badan amil zakat belum maksimal disamping dari kalangan muzakki terdapat kecenderunan yang terjun langsung ke tempat mustahik dalam mendistribusikan sendiri zakat mereka, sehingga pemetaan dalam pendistribusian menjadi marjinal dan tidak merata serta tidak maksimal. Disamping itu seakan melupakan fungsi manajemenn dari badan amil zakat sebagai lembaga lembaga resmi dalam penghimpunan dan pendistribusian zakat .  Kata Kunci : Fungsi Manajemen, dan distribusi zakat. Oleh karena itu  kami tertarik untuk membuat maalah yang berudul “Manajemen Pengelolah Lembaga Dana ZISWAF”
    B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana fakta yang terjadi dilapangan tentang manajemen pengelolah dana ZISWAF?
2.       Bagaimana prosedr mengalirnya dna dalam lembaga ZISWAF?

    C.    Tujuan
1.      Mengeahui  fakta yang terjadi dilapangan tentang manajemen pengelolah dana ZISWAF.
2.      Mengeahui Bagaimana prosedr mengalirnya dna dalam lembaga ZISWAF .

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Zakat dan  Manajemen
Manajemen zakat, keberadaanya merupakan tuntutan dalam pengaturan kehidupan masyarakat. Manajemen zakat adalah pekerjaan intelektual yang dilakukan orang dalam hubungannya dengan organisasi bisnis, ekonomi, sosial dan yang lainnya.[1]
Zakat merupakan salah satu ibadah yang mengandung dimensi vertikal (manusia-Tuhan) dan horizontal (manusia-manusia) sekaligus. Secara vertikal, zakat adalah perintah Allah kepada manusia yang wajib ditunaikan dan itu sudah final (tauqify), tidak bisa ditawar-tawar lagi. Secara horizontal, pengelolaan zakat untuk disalurkan kepada yang berhak (mustahiq) terbuka peluang untuk ijtihad (ijtihady).Aspek horizontal inilah yang perlu didiskusikan dan dikembangkan terus-menerus mengingat zakat memiliki potensi yang besar dalam menyejahterakan rakyat dan mengandung nilai humanisme, tapi pengelolaannya selama ini belum maksimal.
Tragedi pembagian zakat yang memakan korban (mati, terinjak, berdesak-desakan) di sejumlah daerah, seperti  di Pasuruan, beberapa tahun lalu, merupakan contoh kecil dari buruknya manajemen dan strategi.Dalam hal ini, setidaknya ada empat unsur penting yang harus dipenuhi. Pertama, badan atau lembaga sebagai pengumpul zakat bisa berupa Islamic Center, masjid, dan lain-lain. Kedua, proses kerja, yakni sebuah usaha untuk mengumpulkan, mengelola, mengoptimalkan, dan memberikan zakat. Ketiga, orang yang melakukan proses dalam hal ini adalah amil zakat. Keempat, tujuan, yakni terkumpul sekurang-kurangnya 25-50 persen dari wajib zakat.
Untuk melakukan kerja-kerja tersebut, seorang manajer akan melakukan kegiatan-kegiatan yang disebut fungsi manajemen sebagai berikut. Pertama, planning, yakni harus ditentukan goal yang ingin dicapai dalam waktu  tertentu di masa depan dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Kedua, organizing, harus ada pengelompokan kegiatan dan pembagian tugas terhadap apa yang akan dikerjakan dalam rangka mencapai goal tersebut. Ketiga, staffing, harus ada penentuan sumber daya manusia yang diperlukan, pemilihan mereka, pemberian trainning, dan pengembangannya. Keempat, motivating, pemberian motivasi dan arahan untuk menuju goal. Kelima, controlling, pengukuran performance untuk mencapai goal yang telah ditentukan, penentuan sebab-sebab terjadinya penyimpangan dari goal, dan sekaligus usaha pelurusan kembali untuk menuju goal yang ada. Fungsi manajemen yang standar di atas acapkali diabaikan untuk mengatakan dianggap tidak penting. Padahal, tanpa fungsi manajemen tersebut, pengorganisasian apa pun akan tidak maksimal dan tidak tepat sasaran. Akhirnya, tujuan mulia zakat hanya menguap begitu saja di udara. Naudzubillah. Apabila fungsi manajemen dilakukan dengan baik (well-done), tinggal dilakukanlah strategi-strategi pembangunan zakat.
Potensi dana zakat dan realisasi pengumpulannya dapat gap yang besar. Salah satu bentuk sosialisasinya adalah kampanye sadar zakat yang dilakukan oleh komponen bangsa, bahkan kalau perlu sosialisasi tersebut dilakukan mulai dari tingkat presiden sampai RT. Pasalnya, masyarakat hanya menyadari bahwa zakat fitrah sajalah yang wajib di bayarkan. Padahal, masih banyak jenis zakat lainnya yang harus dibayarkan, seperti zakat ternak, tanaman, profesi, dan lain-lain.Bahkan, mungkin juga perlu dibentuk semacam NPWZ (nomor pokok wajib zakat) sebagai bukti keterlibatan mereka dalam mendukung sosialisasi zakat. Seiring perkembangan teknologi informasi, zakat pun sebenarnya bisa dilakukan dengan media IT sebagaimana di Singapura dan Malaysia, yakni e-Zakat: Zakat System Online.
Kedua, membangun citra lembaga zakat yang amanah dan profesional. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat saat ini telah terjadi krisis kepercayaan antarsesama komponen masyarakat.Pembangunan citra ini merupakan hal yang sangat fundamental. Citra yang kuat dan baik akan menggiring masyarakat yang berka tegorikan muzaki untuk mau menyalurkan dana zakat melalui amil. Amanah, equitable, akuntabilitas, transpa ransi, dan coorporate culture merupakan tiga hal pokok dalam menentunkan citra lembaga zakat (zakat coorporation) yang profesional.
     B.     Manajemen ZISWAF
Secara operasional dan fungsional manajemen zakat dapat dejelaskan secara rinci di
antaranya berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan :
1.      Perencanaan Zakat
Dalam manajemen zakat proses awal perlu dilakukan perencanaan. Secara
konseptual perencanaan adalah proses pemikiran penentuan sasaran dan tujuan yang
ingin di capai, tindakan yang harus dilaksanakan, bentuk organisasi yang tetap untuk
mencapainya, dan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang hendak dilaksanakan oleh Badan atau LAZ. dengan kata lain perencanaan menyangkut pembuatan keputusan tentang apa yang hendak dilakukan, bagaiman cara melakukan, kapan melakukan dan siapa yang akan melakukan secara terorganisasi. Perencanaan zakat tentunya berkaitan dengan kegiatan dengan proses sebagai berikut:[2]
a.       Menetapkan sasaran dan tujuan zakat. sasaran zakat berkaitan dengan orang yang berkewajiban membayar zakat (muzakki>) dan orang yang berhak menerima zakat (Mustahik). sedangkan tujuannya adalah menyantuni orang yang berhak agar terpenuhi kebutuhan dasarnya atau meringankan beban mereka.
b.      Menetapkan bentuk organisasi atau kelembagaan zakat yang sesuai dengan tingkat kebutuhan yang hendak dicapai dalam pengelolaan zakat.
c.       Menetapkan cara melakukan penggalian sumber dan distribusi zakat. dalam hal ini dilakukan identifikasi orang-orang yang berkewajiban zakat dan orang-orang yang berhak menerima zakat.
d.      Menentukan waktu untuk penggalian sumber zakat dan waktu untuk mendistribusikan zakat dengan skala prioritas.
e.       Menetapkan amil atau pengelola zakat dengan menentukan orang yang memiliki komitmen, kompetensi mindset dan profesionalisme untuk melakukan pengelolaan zakat.
f.       Menetapkan sistem pengawasan terhadap pelaksanaan zakat, baik mulai dari pembuatan perencanaan, pembuatan pelaksanaan, pengembangan secara terus menerus secara berkesinambungan.
2.      Pelaksanaan Kegiatan Zakat
Pengelolaan zakat diperlukan pengelola zakat yang profesional, mempunyai kompetensi dan komitmen sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. berkaitan dengan kriteria pelaksana zakat dan kriteria pemimpin Badan/Lembaga Amil Zakat Menurut Yusuf Qardawi petugas pelaksana zakat (amil) harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya ialah:[3]
a.       Beragama Islam. Zakat adalah urusan yang sangat penting dalam Islam dan termasuk rukun Islam yang ke tiga oleh karena itu urusan ini harus di urus oleh sesama muslim.
b.      Mukallaf yaitu orang Islam dewasa yang sehat akal pikiranya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.
c.       Memiliki sifat amanah atau jujur. sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat.
d.      Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.
e.       Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya.
f.       Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang full time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan.[4]
3.      Pengawasan Zakat
Secara konsepsional dan operasional pengawasan adalah suatu upaya sistimatis, untuk menetapkan kinerja setandar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan untuk menetapkan apakah terjadi suatu penyimpangan dan mengukur siknifikansi penyimpangan tersebut untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya Badan atau LAZ telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan Badan atau LAZ.[5]
Secara menejerial pangawasan zakat adalah mengukur dan memperbaiki kinerja amil zakat guna memastikan bahwa Lembaga atau Badan Amil Zakat di semua tingkat dan semua yang telah dirancang untuk mencapainya yang telah sedang dilaksanakan. Adapun pola pengawasannya adalah sebagai berikut:
a.       Menetapkan sistem dan standar operasional pengawasan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan oleh Badan atau LAZ.
b.      Mengukur kinerja. Pengawas dalam hal ini melakukan pengukuran atau mengevaluasi kinerja dengan standar yang telah ditentukan dengan proses yang berkelanjutan.
c.       Memperbaiki penyimpangan. Proses pengawasan tidak lengkap jika tidak ada tindakan perbaikan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi.[6]
     C.    Distribusi Zakat dan Pengembangannya
Distribusi zakat dapat dilakukan dengan berbagai pola, tergantung dari kebijakan manajerial Badan atau Lembaga Zakat yang bersangkutan. Adakalanya disalurkan langsung pada mustah}ik dengan pola konsumtif dan adakalanya diwujudkan dalam bertuk produktif atau dengan cara memberikan modal atau zakat dapat dikembangkan dengan pola investasi.
Ketua Umum BAZNAS, Didin Hafidhuddin, mengatakan zakat sangat berperan penting dalam kesejahteraan masyarakat Indonesia. Meski demikian, negara memiliki andil dalam zakat. "Amil berperan penting dalam pengelolaan zakat. Sedangkan dalam Fatwa MUI No. 8 tahun 2011, posisi amil diangkat ataupun disahkan oleh pemerintah,"[7] Adapun sebagai penyebab rendahnya realisasi zakat yang terkumpul di lembaga pengumpul zakat antara lain : Pertama, pengetahuan masyarakat terhadap sumber sumber harta yang menjadi objek zakat masih terbatas pada sumber-sumber konvensional seperti yang dinyatakan dalam Alquran dan hadits.
Sementara sumbersumber objek zakat yang wajib dizakatkan sesuai dengan perkembangan ekonomi moderen saat ini sudah semakin berkembang jenisnya. Kedua, kegagalan dalam pengelolaan zakat pada masa lalu masih menyisakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembagalembaga pengumpul zakat. Sehingga banyak diantara masyarakat yang masih mempertahankan pola penyalur zakat secara tradisional yaitu, penyaluran zakat secara langsung oleh muzakki kepada individu yang dianggap berhak menerimanya. Dengan pola penyaluran zakat seperti ini kurang memberikan kontribusi besar bagi perekonomian.[8]
Zakat dapat diberikan secara konsumtif dan dapat pula deberikan secara produktif. Penyaluran zakat produktif pernah terjadi di zaman Rasulallah Saw. Pemberian zakat secara produktif, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Yusuf Qardawi, pemerintah Islam dapat mengembangkan harta zakat dengan cara membangun pabrik-pabrik atau perusahaanperusahaan, kemudian keuntungannya dipergunakan untuk kepentingan fakir miskin sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa.
Pengganti pemerintah dapat diperankan oleh LAZ atau Badan Amil Zakat yang kuat amanah dan profesional. Lembaga atau Badan Amil Zakat bila memberikan zakat secara produktif harus melakukan pembinaan/pendampingan kepada para Mustahik zakat agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik, dan agar mereka semakin meningkat kualitas keimanan dan keislamanya, karena ini termasuk salah satu tujuan dari zakat.[9]
Selanjutnya zakat merupakan salah satu solusi alternatif dalam mengurangi kemiskinan. Dari hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa aktivitas devisi pengumpulan zakat pada Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) mempunyai kinerja yang cukup baik, tetapi belum optimal. Walaupun dana ZIS meningkat dari tahun ke tahun namun realisasinya masih kurang dari 0.02% dari potensi zakat yang ada (PDRB). Di sisi lain, program pendayagunaan zakat untuk tujuan pemberdayaan ekonomi produktif belum menjadi prioritas utama, sehingga tujuan dan maksud dari pelaksanaan zakat sebagai upaya mengurangi kemiskinan ekonomi fakir miskin belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dengan kata lain, perubahan status dari penerima zakat (mustahik) fakir miskin menjadi pembayar zakat (muzakki) masih jauh dari realitasnya. Meskipun demikian, peran penting yang dimainkan oleh lembaga pengumpulan zakat di daerah penelitian yang terpenting saat ini adalah:
1.       Meringankan beban penderitaan sebagian kaum fakir miskin berupa bantuan biaya pendidikan, biaya sekolah, bantuan korban bencana alam.
2.      Meningkatkan status sosial diantara sejumlah fakir miskin menjadi munfiq (orang yang telah mampu membayar infaq).
3.      Menciptakan beberapa lapangan kerja bagi mustahik.
4.      Meningkatkan pendidikan dan kerampilan kaum perempuan dalam menggerakkan usaha rumah tangga.
Berdasarkan analisis SWOT ditemukan bahwa peran srtategi zakat sebagai alat pengentasan kemiskinan ekonomi perlu dilakukan hal-hal berikut:
1.       untuk pemberdayaan ekonomi fakir miskin dilakukan melalui dana bergulir yang dikelola oleh MisYkat.
2.      Sosialisasi zakat perlu ditingkatkan.
3.      Kelembagaan amil zakat baik BAZ maupun LAZ perlu dibenahi untuk meningkatkan kepercayaan dari pembayar zakat.[10]
Selama ini potensi dan pentingnya zakat sebagai usaha untuk pengentasan kemiskinan masih dianggap sebelah mata, padahal zakat sesungguhnya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Perkiraan besarnya potensi zakat di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai kalangan, misalnya, Dompet Dhuafa Republika memperkirakan potensi zakat minimal di Indonesia bisa mencapai angka Rp. 5,1 triliun

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Manajemen zakat, keberadaanya merupakan tuntutan dalam pengaturan kehidupan masyarakat. Manajemen zakat adalah pekerjaan intelektual yang dilakukan orang dalam hubungannya dengan organisasi bisnis, ekonomi, sosial dan yang lainnya.  Zakat merupakan salah satu ibadah yang mengandung dimensi vertikal (manusia-Tuhan) dan horizontal (manusia-manusia) sekaligus. Secara vertikal, zakat adalah perintah Allah kepada manusia yang wajib ditunaikan dan itu sudah final (tauqify), tidak bisa ditawar-tawar lagi. Secara horizontal, pengelolaan zakat untuk disalurkan kepada yang berhak (mustahiq) terbuka peluang untuk ijtihad (ijtihady).
Ketua Umum BAZNAS, Didin Hafidhuddin, mengatakan zakat sangat berperan penting dalam kesejahteraan masyarakat Indonesia. Meski demikian, negara memiliki andil dalam zakat. "Amil berperan penting dalam pengelolaan zakat. Sedangkan dalam Fatwa MUI No. 8 tahun 2011, posisi amil diangkat ataupun disahkan oleh pemerintah,"  Adapun sebagai penyebab rendahnya realisasi zakat yang terkumpul di lembaga pengumpul zakat antara lain : Pertama, pengetahuan masyarakat terhadap sumber sumber harta yang menjadi objek zakat masih terbatas pada sumber-sumber konvensional seperti yang dinyatakan dalam Alquran dan hadits.
B.     SARAN
Pembagian dana zakat, sebenarnya, harus memberikan keutamaan dengan tujuan yang memungkinkan si miskin dapat menjalankan usaha sehingga mampu berdikari, sebab merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menghidupi dirinya. Ajaran Islam sangat melarang seseorang menjadi pengemis untuk menghidupi dirinya. Dengan demikian dana zakat, juga infaq & sadaqah, hanya dapat menjadi suplemen pendapatan permanen bagi orang−orang yang benar−benar tidak dapat menghidupi dirinya lewat usahanya sendiri karena ia seorang yang menderita cacat seumur hidup atau telah uzur. Sedangkan bagi yang lain, dana tersebut harus digunakan sebagai bantuan keringanan temporer disamping sumber−sumber daya esensial untuk memperoleh pelatihan, peralatan, dan materi sehingga memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang mencukupi.            

DAFTAR PUSTAKA

 Ismail, Nawawi, 2010, Zakat dalam Perpektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, Surabaya: Putra                      Media Nusantara,
Halifuddin,Didin, 2012. Distribusi zakat terbukti mengurangi 21 persen warga miskin.                          Jakarta.
Mustafa Edwin Nasution, Public Finance: Konseptualisasi, Implementasi, Aktualisasi
dan Perkembangannya dalam Masa Kontemporer di Indonesia (disampaikan
pada seminar “Potensi Lembaga Keuangan Sosial dalam Sistem Keuangan Islam” di Universitas Islam Negeri Jakarta, Rabu 17 Januari 2007
Indirijatiningrum, Mustiko Rini, 2005. Zakat sebagai Alternatif Penggalangan Dana
Masyarakat Untuk Pembangungan, Jurnal Ekonomi Keuangan dan Bisnis (Eksis) vol1 No.4


Related Posts

Subscribe Our Newsletter