MAKALAH EKONOMI ISLAM
" BUNGA BANK"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Esensi dasar pelarangan riba dalam Islam adalah menghindari adanya ketidakadilan dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi. Sementara riba (bunga) pada hakekatnya adalah pemaksaan suatu tambahan atas debitur yang melarat, yang seharusnya ditolong bukan dieksploitasi dan memaksa hasil usaha agar selalu positif. Hal ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat peduli dengan kelompok-kelompok sosio-ekonomi yang lebih rendah agar kelompok ini tidak dieksploitasi oleh orang-orang kaya (pemilik dana). Sebab ajaran ekonomi Islam mengemban misi humanisme, tatanan sosial dan menolak adanya ketidakadilan dan kezaliman yang mata rantainya berefek pada kemiskinan.
Kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup dimasyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun,wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga bank, Bunga tidak sama dengan riba. walaupun al-quran dan dan hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.
Untuk itu dalam hal ini pemakalah akan menjelaskan beberapa ayat serta tafsirnya mengenai Riba dan Bunga Bank, dengan demikian diharapkan agar sekiranya membantu memberi penjelasan mengenai hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu riba dan bunga bank?
2. Bagaimana tafsir ayat mengenai riba dan bunga bank?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba dan Bunga Bank
Pengertian riba secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata riba yarbu rawban yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl (kelebihan). Sebagaimana pula yang disampaikan didalam Al-Qur’an yaitu pertumbuhan, peningkatan, bertambah, meningkat, menjadi besar, dan besar selain itu juga digunakan dalam pengertian bukti kecil. Pengertian riba secara umum meningkat baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah mengatakan bahwa yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga, menurut Ibn Hajar ‘Askalani, riba adalah kelebihan baik dalam bentuk barang maupun uang. Sedangkan menurut Mahmud Al-Hasan Taunki, riba adalah kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran barang yang sama.[1]
Dalam kaitannya dengan pengertian al-batil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an menjelaskan pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi pengganti atau penyeimbangan yang dibenarkan syari’ah.
Selain itu bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diartikan oleh bank yang berdasarkan prinsip yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga bagi bank dapat diartikan sebagai harta yang harus di bayar oleh nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah) yang memperoleh pinjaman.[2]
B. Tafsir Ayat Tentang Riba dan Bunga Bank
1. Q.S. Ali-Imran/3 : 130
a. Teks dan Terjemahan Ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِح
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah pada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”[3]
b. Tafsir Al-Mufradat
Adh‘afan Mudha’afah : dua kali lipat. Lipatan satu adalah satu sebab, bila ditambahkan padanya maka menjadi dua. Bila engkau melipatkan sesuatu, berarti engkau memberikan padanya satu kali, baik sekali atau lebih banyak lagi. Dan pengertian berlipat ganda ini modalnya saja, seperti yang lazim terjadi sekarang. Yaitu seseorang meminjam seratus rupiah dan harus mengembalikan tiga ratus rupiah.
Wa’t-Taqu’l-Laha : jadikanlah taqwa itu sebagai tameng bagi diri kamu dari siksa-Nya.[4]
c. Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa terdapat orang-orang yang berjual beli dengan kredit (dengan bayaran berjangka waktu). Apabila telah tiba waktu pembayaran dan tidak mampu membayar, bertambahlah bunganya, dan ditambahkan pula waktu pembayarannya. Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai larangan atas perbuatan itu.(Diriwayatkan oleh al Faryabi yang bersumber dari mujahid).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa di jaman Jahiliyah, Tsaqif berhutang kepada Bani Nadzir. Ketika telah tiba waktu membayar, Tsaqif berkata “Kami bayar bunganya dan kami undur waktu pembayarannya”. Maka turunlah ayat tersebut sebagai larangan atas perbuatan itu. (Diriwayatkan oleh al Faryabi yang bersumber dari ‘’Atha).[5]
d. Kandungan Ayat
Ayat di atas dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman, disusul dengan larangan memakan riba. Dimulainya demikian, memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.
Riba atau kelebihan yang dilarang oleh ayat diatas, adalah yang sifatnya adh’afanmudha’afah. Kata adh’afan adalah bentuk jama’ dari dhi’f yang berarti “serupa”, sehingga yang satu menjadi dua. Dhi’fain adalah berlipat ganda. Memang demikian itulah kebiasaan orang Jahiliyah. Jika seseorang tidak mampu membayar utangnya, ia ditawari atau menawarkan penangguhan pembayaran, dan sebagai imbalan penangguhan itu, ia pada saatnya ketika membayar hutangnya membayar dengan berlipat ganda.[6]
Secara global, macam-macam riba ada dua yaitu :
a. Riba Nasi’ah, yaitu memberikan sejumlah barang yang akan dibayar dalam jangka waktu tertentu dengan syarat membayar tambahan (bunga), sebagai ganti waktu pemakaian hutang tersebut. Ini adalah riba yang terkenal pada masa Jahiliyah. Jadi, manakala masa pembayaran ditangguhkan, maka bertambah jumlah hutangnya.[7]
b. Riba Fadhal, misalnya seseorang yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang dengan harga yang melebihi timbangannya. Dan sebagai barternya, adalah uang dinar (uang emas). Atau seseorang menjual satu kilo kurma yang baik dengan jelek. Sekalipun kedua belah pihak saling merelakan lantaran kedua belah pihak saling membutuhkan satu sama lain.[8]
2. Q.S. Al-Baqarah ayat 275
الَّذيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَوالاَيَقُومُوْنَ اِلاَّ كَماَ يَقُومُوْالَّذِ يْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَنُ مِنَ المَسِّ ذَلِكَ بِاَ نَّهُمْ قاَلُوْااِنَّمَاَالبَيْعُ مِسْلُ الرِّبَواوَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّباَ فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275}
Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lan-taran (tekanan) penyakit gila. Yang demikan itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
a. Makna dan Tafsiran Ayat
Tatkala Allah menyebutkan tentang kondisi orang-orang yang bersedekah dan apa yang mereka dapatkan disisi Allah dari segala kebaikan dan digugurkannya kesalahan dan dosa-dosa mereka. Lalu Allah menyebutkan tentang orang-orang yang zhalim para pemakan riba dan memiliki muamalah yang licik, dan Allah mengabarkan bahwa mereka akan diberi balasan menurut perbuatan mereka. Untuk itu, sebagaimana mereka saat masih di dunia dalam mencari penghidupan yang keji seperti orang-orang gila, mereka disiksa di alam barzakh dan pada Hari Kiamat, bahwa mereka tidak akan bangkit dari kubur mereka hingga Hari Kebangkitan dan hari berkumpulnya makhluk, “melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
Maksudnya, dari kegilaan dan kerasukan. Itu adalah siksaan, penghinaan dan dipamerkannya segala dosanya, sebagai balasan untuk mereka atas segala bentuk riba mereka dan kelanca-ngan mereka dengan berkata,”sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. Mereka menyatukan -dengan kelancangan mereka- antara apa yang dihalalkan oleh Allah dengan apa yang diharamkan olehNya hingga mereka membolehkan riba dengan hal itu. Allah ta’ala kemudian menawarkan kepada orang-orang yang melakukan praktek riba dan selain mereka untuk bertaubat dalam firmanNya, Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya” sebuah penjelasan yang disertai dengan janji dan ancaman, (فَانتَهَى) ”lalu terus berhenti (dari mengambil riba)”, dari apa yang mereka lakukan dari praktek riba, (فَلَهُ مَا سَلَفَ) “maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)” dari perkara yang ia berani terhadapnya, lalu ia bertaubat darinya, (وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ) “dan urusannya (terserah) kepada Allah”pada masa yang akan datang jika dia masih terus dalam taubatnya.
Allah tidak akan melalaikan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan.“Orang yang mengulangi (mengambil riba)” setelah penjelasan Allah dan peringatanNya serta ancamanNya terhadap orang yang memakan riba, (فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ) “maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. Dalam ayat ini ada isyarat bahwa riba itu berkonsekuensi masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal itu karena kejelekannya, selama tidak ada yang menghalangi kekekalannya yaitu keimanan. Ini di antara sejumlah hukum-hukum yang tergantung kepada terpenuhinya dan terbebasnya dari penghalang.
Ibnu Abbas hanya mengharamkan riba jahiliah. Tetapi menurut keterangan, dia telah rujuk dari fatwanya dan kembali meminta taubat kepada Allah dan mengharamkan riba fadhal itu. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Lebih lanjut keterangan tentang riba itu diterangkan dengan panjang lebar dalam kitab-kitab Fikih.
2. Q.S. Al-Baqarah Ayat 278-279
a. Teks dan Terjemahan Ayat
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka kamu berhak atas pokok hartamu; kamu tidak berbuat zalim (merugikan dan tidak (pula) dizalimi (dirugikan)”.
b. Makna dan Tafsiran ayat
Kemudian Allah menghadapkan firmanNya kepada kaum mukminin dan memerintahkan kepada mereka agar bertakwa kepadaNya dan agar mereka meninggalkan sisa-sisa muamalah dengan riba yang mereka kerjakan sebelumnya, dan bahwa bila mereka tidak melakukan hal itu, maka sesungguhnya mereka itu telah memerangi Allah dan RasulNya. Inilah bukti yang paling jelas yang diakibatkan oleh kebusukan riba, di mana Allah menjadikan orang yang suka berpraktek riba menjadi orang yang memerangi Allah dan RasulNya.
Kemudian Allah berfirman, (وَإِن تُبْتُمْ) “Dan jika kamu bertaubat”. Maksudnya, dari muamalah ribawiyah, (فَلَكُمْ رُءُ وسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُون) “maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya” manusia lain dengan mengambil riba, (وَلاَ تُظْلَمُونَ) “dan tidak (pula) dianiaya” dengan tindakan kalian mengurangi pokok harta kalian. Maka siapa pun yang bertaubat dari riba walaupun muamalah yang telah berlalu adalah miliknya, maka perkaranya akan diperhatikan (Allah). Namun apabila muamalahnya masih berjalan, wajiblah ia hanya mengambil pokok hartanya saja. Dan bila ia mengambilnya lebih dari itu maka ia telah berani melakukan riba. Ayat ini merupakan penjelasan akan hikmah (diharamkannya riba) dan bahwa riba itu meliputi kezhaliman bagi orang-orang yang membutuhkan dengan mengambil tambahan dan melipat ganda-kan riba atas mereka, padahal dia wajib menangguhkan mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Riba secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata riba yarbu rawban yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl (kelebihan). Sebagaimana pula yang disampaikan didalam Al-Qur’an yaitu pertumbuhan, peningkatan, bertambah, meningkat, menjadi besar, dan besar selain itu juga digunakan dalam pengertian bukti kecil. Pengertian riba secara umum meningkat baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diartikan oleh bank yang berdasarkan prinsip yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga bagi bank dapat diartikan sebagai harta yang harus di bayar oleh nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah) yang memperoleh pinjaman.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Sebagai manusia, kami pun tak luput dari kesalahan dan tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tapi, semoga saja yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan harapan bisa menambah pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk menjadi koreksi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustafa Al-Maragi, 1998, Terjemahan Tafsir Al-Maragi vol. IV, Semarang : Penerbit
Toha Putra.
Hamka, 1983, Tafsir Al-Azhar vol. IV, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.
Heri Sudarsono, 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta : Ekonisia.
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
M. Quraish Shihab, 2000, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an vol II,
Ciputat : Penerbit Lentera Hati, 2000.
Qamarudin Shaleh A. Dahlan, 1992, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat Al-Qur’an, Bandung : CV Diponegoro.
[1]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Ekonisia, 2004), h.10.
[2]Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), h.133.
[3]Hamka, Tafsir Al-Azhar vol. IV, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983), h.110.
[4]Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi vol. IV, (Semarang : Penerbit Toha Putra, 1998), h.105.
[5]Qamarudin Shaleh A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Bandung : CV Diponegoro, 1992), h.110.
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an vol II, (Ciputat : Penerbit Lentera Hati, 2000), h.203.
[7]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang : Penerbit Toha Putra, 1998), h.109.
[8]Ibid.