MAKALAH NASIONALISME MESIR


MAKALAH NASIONALISME MESIR 

BAB I 

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Perkembangan nasionalisme mesir Pada 1882 muncul pemberontakan Arabi Pasha yang dipengaruhi paham Jamaludin Al Afghani. Pemberontakan ini merupakan tonggak dari nasionalisme Mesir yang menuntut agar segera diubahnya sistem pemerintahan di Mesir. Tuntutan tersebut dianggap membahayakan posisi Inggris diMesir. Sebagai antisipasinya, dengan cepat Inggris segera mengirimkan pasukannya untuk menyerang Arabi Pasha. Desakan tersebut membuat Arabi Pasha menyerahkan diri dan mengakui kekalahannya dari pihakInggris. Sejak saat itulah Inggris memegang kekuasaan penuh diMesir. Walaupun Arabi Pasha telah tertangkap namun cita-citanya sedikitdemi sedikit terus diperjuangkan oleh para tokoh nasionalis. Hal itu mulai nampak dari diadakannya Kongres Nasional di bawah Mustafa Kamil dengan bertujuan untuk mencapaikemerdekaan secara penuh. Lagi-lagi Inggris berkehendak lain, mereka mulai melucuti tubuh kongres denganmenangkap dan membuang tokoh-tokohnya. Akan tetapi tindakan Inggris tersebut tidak membuat takut dan jera para tokoh nasionalis. Dengan munculnya Partai Wafd tahun 1919 di bawah pimpinan Saad Zaghul Pasha, menandakan bahwa semangat nasionalisme di Mesir masih tetapberkobar. Pada November 1918 di bawah pimpinan Saad Saglul, kaum nasionalis menuntut agar Mesir diberikan kemerdekaan penuh. Dua kali Zaglul Pasha ditangkap dan diasingkan olehInggris; pertama ke Malta danyang kedua ke Gibraltar.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Latar belakang  Nasionalisme Mesir ?
2.      Apa Pengaruh Nasionalisme Mesir ?
C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui Latar belakang  Nasionalisme Mesir ?
2.      Untuk mengetahui  Pengaruh Nasionalisme Mesir ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.    SEJARAH KEBANGKITAN NASIONALISME MESIR
1.      Latar Belakang Nasionalisme Mesir
Memudarnya pengaruh Kekhilafan Turki ‘Uthmani (1294-1924 M) di permulaan abad 20 berdampak pada eskalasi politik yang meningkat di provinsi-provinsi dari wilayah taklukan yang jauh dari pusat pemerintahan. Hak otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat, disikapi beragam oleh pemerintahan lokal. Penguasa Mesir (Pasha) saat itu yakni Muhammad ‘Ali mengambil kesempatan dari otonomi untuk melakukan sebuah lompatan kebudayaan; menerima modernisasi Barat. Sebuah keputusan besar yang kelak menjadi pondasi bagi gerakan Nasionalisme Mesir.
Pasha Muhammad ‘Ali memulai proyeknya dengan mengirim pemagang teknologi militer ke Italia dan Perancis di tahun 1839. Gelombang berikutnya disusul oleh para pemagang di bidang birokrasi dan teknologi manufaktur. Akibatnya muncul kelas baru di Mesir yakni golongan teknokrat alumni Barat. Ciri umum dari golongan ini yakni apriori terhadap nilai tradisi, cenderung kapitalistik dan permissif dengan apapun yang menjadi tren di Barat. Kemunculan golongan ini menimbulkan benturan kebudayaan di level akar rumput mengingat unsur tradisi Arab-Islam yang mengakar kuat.
Situasi Mesir antara 1850-1914 sungguh pelik. Secara teritorial, Mesir adalah bagian dari Daulah ‘Uthma>niyyah Turki namun Mesir juga di bawah kolonialisme Inggris. Periode tersebut juga akrab dengan krisis ekonomi yang berdampak terhadap minimnya akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan secara umum.Instabilitas politik dan krisis ekonomi seringkali menjadi bahan bakar bagi tersulutnya perubahan radikal.
Generasi revolusioner lahir dari kalangan terpelajar terutama yang mengecap terbukanya sebuah era baru di Barat. Dengan didorong teknologi informasi yang semakin maju menjadi media penyebaran ide-ide revolusi dengan kalangan muda dengan mengandalkan jurnalisme sebagai media utama penyebarannya. Gairah revolusi tidak mungkin dibendung, resistensi terhadap gerakan ini hanya punya kesempatan untuk melakukan pengendalian.
Revolusi yang digemakan adalah revolusi dimensi sosial terutama berkaitan dengan dua hal isu strategis yakni politik dan keagamaan. Mesir termasuk negara yang dapat melewati fase revolusi ini dengan damai meski ditempuh dalam waktu yang cukup lama. Gejolak hanya terjadi di level elit, sementara masyarakat akar rumput cenderung sibuk dengan rutinitas harian dan lebih tenang berada dalam “payung” tradisi. Konflik terjadi dalam level yang tidak ekstrim meski eskalasinya begitu panas dan menarik banyak pihak untuk mencermati perkembangannya.
2.    Pilar Nasionalisme Mesir
Setiap ide dan gerakan pasti memiliki pondasi-pondasi ideologis. Pondasi-pondasi tersebut dapat digali kembali melalui kajian epistemologis. Mayoritas peneliti orientalis biasanya merujuk kepada konsep pondasi nasionalisme 8 Mesir yang dirumuskan oleh Taha Husayn. Berdasarkan rumusan tersebut, terdapat tiga pilar utama tegaknya Nasionalisme Mesir yakni
a.       Warisan Arab
Sulit untuk tidak mengatakan Mesir bukan Arab. Meski bagian kontinental dari Afrika, Mesir bahkan dapat dikatakan lebih Arab daripada beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Perjalanan sejarah bersama Arab (Islam) sejak penaklukannya oleh ‘Amr Ibn al-‘As di tahun 16 H (637 H) hingga abad modern ini menjadi bukti konsistensi kultur Arab di Mesir.
Bahasa Arab adalah bahasa resmi Mesir menggantikan bahasa Romawi yang digunakan sejak 30 SM.12 Nama yang diberikan orang tua kepada anaknya adalah nama Arab. Bahasa sehari-hari yang digunakan selama ratusan tahun adalah Bahasa Arab. Membicarakan Mesir berarti membicarakan salah satu devian dari bangsa Arab sebagaimana kita membicarakan Saudi, Iraq, Kuwait atau Qatar.
Warisan sesungguhnya (the real legacy) dari bangsa Arab adalah Islam. Islam adalah pondasi bagi konsistensi kultur Arab di Mesir. Simbol-simbol Islam sangat mendominasi kehidupan rakyat Mesir. Simbol Islam tidak hanya tersirat dalam arsitektur yang diejawantahkan oleh masjid-masjid dan makam-makam, bahkan simbol tersebut teraplikasikan dalam dunia politik-kemasyarakatan. Univesitas Al-Azhar13 dapat dimasukkan sebagai bukti dominasi simbol tersebut. Islam tidak hanya warisan bangsa Arab, Islam telah menjadi identitas rakyat Mesir.
Dalam konteks Mesir masa revolusi, penjagaan terhadap warisan Arab ini merupakan arus utama. Tantangannya adalah meski menjadi arus utama kelompok ini terbelah menjadi dua kelompok besar yakni kelompok tradisional-konservatif dan modern-transformatif. Kesamaan dari kedua kelompok ini adalah keduanya mengusung Islam sebagai sebuah warisan berharga bagi keberlangsungan umat.
b.      Rasionalisme (Yunani)
Yunani adalah simbol bagi pendayagunaan kekuatan akal sebagai pilar bagi pendayagunaan manusia. Klaim ini tentu tidak nihil perdebatan, namun diakui atau tidak sumbangsih Yunani terhadap filsafat sebagai mother of science sangat besar. Filsafat Yunani kemudian bertemu dengan peradaban Islam di era kejayaan ekonomi Arab, perkenalan tersebut melahirkan nama-nama besar seperti Ibnu Rushd dan Ibn Sina.
Tidak sedikit cendikiawan muslim meyakini bahwa kejayaan peradaban Islam di interval abad IV – X H dibangun di atas pilar-pilar filsafat. Kemunduran yang terjadi di era setelahnya diyakini merupakan akibat umat lebih memilih hidup dalam asketisme dan pesimis terhadap potensi akal manusia. Filsafat diabaikan, fanatisme golongan ditumbuh suburkan. Taha Husayn adalah tokoh lokomotif bagi gerbong pemikiran ini.
Diawali dengan penerjemahan karya-karya Yunani di pemerintahan al-Ma’mun kemudian karya tersebut diadaptasi bahkan dikembangkan dengan format yang sangat berbeda dari warisan pemikiran Yunani oleh pemikir-pemikir Muslim. Lihat Syamsudin Arif dan Dinar Dewi Kania, Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuwan Islam dalam Adian Husaini, Seorang sastrawan yang menjadi pelopor kritik teks-teks agama. Karya-karyanya diperhitungkan sebagai penggerak modernisasi pemikiran di Mesir.
Kritik terhadap pengusung Rasionalisme Yunani ini terlihat seperti langkah mundur yang terlalu jauh. Padahal peradaban Islam juga memiliki konsep Rasionalisme yang merupakan versi adaptasi dari para filososof Yunani dengan menambahkan nafas keIslaman. Pembuktian di ranah kajian pun menunjukkan bahwa elaborasi para intelektual modern di Mesir terhadap Rasionalisme Yunani dilakukan via peradaban baru yang sedang tumbuh di Barat pasca Revolusi Perancis dan Revolusi Industri.
c.       Kejayaan Masa Lampau
Mesir Kuno (Ancient Egypt) adalah legenda peradaban dunia. Peninggalanpeninggalannya merupakan “target buruan” paling menjanjikan bagi ilmuwan arkeolog bahkan pasar gelap barang antik memasang harga tertinggi bagi setiap kepingan peninggalan Mesir Kuno. Mesir Kuno juga sering dianggap bukti lompatan peradaban manusia. Manusia secara tiba-tiba menguasai sains yang kompleks dan bahkan tetap menjadi misteri di masa modern.
Akibatnya berkembang isu bahwa peradaban Mesir Kuno diajarkan oleh makhluk luar angkasa (alien). Meski sebatas isu namun publik justru merespon positif, banyak novel fiksi ilmiah dan film-film blockbuster Hollywood mengadaptasi isu itu menjadi pondasi cerita yang laris di pasaran. Era Mesir Kuno berakhir di masa Cleopatra.30 Kehebatan Legiun Romawi di masa itu sulit ditandingi bangsa manapun termasuk Mesir. Seketika itu peradaban Mesir runtuh oleh imperialisme. Romawi juga menyita banyak peninggalan Mesir Kuno; tidak hanya emas atau perhiasan, Obelisk yang merupakan simbol agama Mesir Kuno juga dipindahkan ke Romawi.
Tidak ada peradaban yang abadi. Seperti halnya Mesir yang berhasil ditaklukan, Romawi juga perlahan mulai memudar kedigdayaanya. Kemudian dari jazirah Arab yang tandus sedang terbit sebuah kekuatan baru bernama Islam. Konflik militer diantara keduanya menjadi tidak terhindarkan di Semenanjung Arab termasuk Mesir. Romawi yang mulai menua akhirnya dipukul mundur dari Semenanjung Arab. Mesir kemudian berganti penguasa.
Keruntuhan Khilafah ‘Uthmani> turut menyeret Mesir ke titik nadirnya. Kemalangan Mesir ini kemudian menjadi pemicu bagi bangsa Mesir untuk melakukan sesuatu untuknegaranya. Sebagian intelektual kemudian mengkampanyekan unsur nostalgia tentangkejayaan Mesir di masa lalu.
Bangsa Mesir sangat lentur dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam sejarah mereka. Transisi dari paganisme Mesir Kuno kemudian menjadi pantulan dari peradaban Romawi berhasil dilewati dengan sukses. Meski menderita banyak kehilangan akibat imperialisme namun Mesir tidak sulit untuk mengubah dirinya. Hal sama terjadi pula tatkala Mesir berada dalam otoritas Muslim. Mungkin peradaban yang dibangun oleh generasi baru Mesir tidak sedahsyat pencapaian leluhur mereka dari generais kuno namun generasi baru Mesir selalu bisa memberi warna tersendiri dalam memberikan sumbangsih mereka terhadap dunia.
Fakta di lapangan juga membuktikan bahwa isu utama revolusi Mesir adalah pembaruan dalam pemikiran keagamaan. Islam tetap menjadi poros utama dari ide perubahan di Mesir. Hari ini kita melihat Mesir cenderung tidak banyak berubah secara fisik baik secara ekonomi dan domain-domain sosial lainnya, tetapi sumbangsih Mesir kepada dunia tidak bisa diremehkan terutama terhadap Islam. Mesir saat ini adalah pustaka keilmuan Islam terbesar di dunia. Segala hal tentang Islam dari berbagai sudut pandang bahkan aliran dapat diakses referensinya di Mesir. Sehingga meski tidak segemerlap Perancis, tidak sekuat Amerika Serikat, tidak secanggih Jerman atau Jepang; Mesir tetap memiliki tempat tersendiri di mata dunia yakni sebagai ladang riset yang menjanjikan terhadap studi kawasan Timur Tengah.
B.     PENGARUH NASIONALISME MESIR
Sejarah berkembangnya nasionalisme di dunia identik dengan sebuah perubahan besar di ranah sosial kemasyarakatan. Fenomena yang umum terjadi adalah pengentalan identitas kebangsaan yang tercermin dalam falsafah hidup. Berbicara tentang falsafah hidup, kesetaraan derajat merupakan ide yang paling sering disuarakan. Ide kesetaraan ini tidak berjalan sendiri karena biasanya dikaitkan dengan demokrasi sebagai bentuk pengejawantahan kesetaraan dalam ranah politik.
Nasionalisme juga menjadi corong bagi gerakan publik yang menyuarakan kemandirian bangsa yakni kebebasan sebuah bangsa menentukan nasibnya tanpa intervensi bangsa lain. Nasionalisme sering dihadapkan dan dibenturkan dengan kolonialisme dan imperialisme. Tidak sedikit yang menjadikan nasionalisme sebagai pilar kemerdekaan sebagaimana di Indonesia oleh Soekarno.
Dalam konteks Nasionalisme Mesir, isu kesetaraan dan kemandirian bangsa sangat kuat disuarakan. Sisi uniknya dalam kasus Nasionalisme Mesir adalah munculnya gerakan kebangkitan Islam yang turut serta mengambil peran dalam gerakan Nasionalisme Mesir. Penganjurnya adalah para cendikiawan muslim seperti Abduh dan muridnya Ridha. Rincian tentang pengaruh nasionalisme dalam kehidupan berbangsa rakyat Mesir akan dibahas pada pembahasan berikut ini.


1.       Pengaruh Sosial Politik
a.       Nation State
Selama hampir satu abad (1800-1900 M), Mesir berada dalam kekusutan kekuasaan. Sulit disebutkan siapakah penguasa Mesir sebenarnya. Terdapat tiga oknum kekuatan yang memainkan peran kekuasaan di Mesir yaitu penguasa lokal (khediv), Khilafah Turki ‘Uthmani dan Inggris.34 Kondisi politik yang tidak sehat ini tentu berdampak langsung pada kemajuan Mesir.
Gerakan Nasionalisme kemudian disuarakan oleh kalangan terpelajar. Mereka menuntut terbentuknya format negara yang jelas dengan kemandirian bangsa sebagai pondasinya. Pengaruh Inggris dianggap sebagai sebuah penjajahan, sementara Khilafah ‘Uthmaniyah dianggap tidak cukup kuat untuk menggerakkan pembangunan di Mesir. Nasionalisme Mesir menyuarakan terbentuknya Negara Bangsa (Nation State).
Nasionalisme dan nation state dapat diibaratkan seperti 2 sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Masing-masing adalah alasan keberadaan sisi yang lain. Diawali dari sebuah kondisi kejiwaan yang mengarah kepada pengabdian kepada negara secara totalitas. Kondisi tersebut kemudian menemukan pijakan episteme-nya sehingga terbentuklah sebuah ideologi yang meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Tujuan ideologi ini adalah terwujudnya sebuah negara bangsa.
 Negara bangsa adalah suatu gagasan yang didirikan untuk seluruh bangsa berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang terlibat kesepakatan tersebut. Dengan kondisi dunia modern yang semakin terbuka terhadap latar belakang agama dan ras, banyak yang berkeyakinan bahwa negara bangsa adalah solusi terbaik bentuk negara di abad modern. Nasionalisme Mesir akhirnya berhasil digerakkan oleh golongan terpelajar. Perjuangan menyuarakan nasionlisme lebih sering disuarakan pada forum-forum diskusi dan kajian ilmiah. Ketegangan keamanan dapat diminimalisir sehingga revolusi berdarah dapat dihindarkan. Ide nasionalisme ini mengalami pasang-surut selama hampir 100 tahun lamanya sebelum akhirnya sampai pada puncaknya yakni deklarasi kemerdekan Mesir pada tahun 1956 sebagai sebuah negara bangsa.
b. Egaliterianisme
Sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, ada beberapa isu sensitif yang lazim terjadi dalam tradisi muslim klasik yakni isu hubungan muslimkafir dan isu gender. Mengenai relasi muslim-kafir di masa lalu relatif tidak banyak persoalan tajam karena negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim telah teruji sebagai kelompok masyarakat yang paling toleran terhadap perbedaan agama.
Tantangan berbeda saat monarki dianggap terlalu uzur untuk bisa memacu negara-negara muslim dalam persaingan global. Tidak sedikit negara -termasuk Mesir- yang kemudian memilih mencoba sistem politik baru yakni demokrasi. Sehingga corak nasionalisme yang lahir di Mesir adalah nasionalisme demokratis berbeda dengan tetangganya yaitu Arab Saudi yang membingkai nasionalismenya tetap berada dalam jalur monarki-teokrasi.
Demokrasi mensyaratkan partisipasi publik secara total dalam politik. Akses politik harus terbuka bagi siapa saja. Egaliterianisme menjadi nafas bagi demokrasi. Sehingga membicarakan egaliterianisme pasti akan bersinggungan dengan pembahasan demokrasi. Bukan rahasia lagi jika semua isme (paham) yang dikembangkan sejak era industri-modern selalu bermuara di politik.
Bangsa Mesir telah lama menjadikan Islam sebagai bagian dari kehidupan mereka. Islam mempunyai banyak peran termasuk diantaranya menjadi pertimbangan utama penerimaan khalayak terhadap sebuah ide yang diadaptasi dari pemikiran atau kebudayaan asing. Di sisi lain, Islam memiliki konsep kesetaraan yang banyak sisi di dalamnya menjanjikan ruang dialogis dengan konteks zaman. Ruang itu yang diincar oleh para penggiat egaliterianisme dalam berkampanye.
Egaliterianisme tidak benar-benar hidup dan berkembang di Mesir. Kekuaatan kultur-primordial yang mengakar kuat menjadi tembok kokoh bagi penyebaran paham ini secara massif dan menjadi falsafah utama publik Mesir. Meski demikian, egaliterianisme tidak benar-benar ditolak dan diacuhkan. Kelahiran Republik Mesir menjadi bukti bahwa egaliterianisme memiliki posisi yang unik di Mesir. Hal ini justru menjadi faktor genuine dari gerakan Nasionalisme Mesir.
2.       Pengaruh Pemikiran Keagamaan
Selama ratusan tahun sampai detik ini, Mesir identik dengan pusat pengajaran dan pembelajaran kajian-kajian Islam. Peran Mesir di masa klasik adalah menjadi arena berlaga bagi diskusi dan perdebatan berbagai madhhab dari berbagai disiplin kajian keagamaan. Fiqh, Tasawuf, dan Kalam merupakan penyumbang terbesar bagi perdebatan yang produktif tersebut.
Meski memiliki brand sebagai pusat kajian keagamaan yang dinamis, realitanya mayoritas masyarakat Mesir lebih nyaman dengan penyatuan pemikiran berdasarkan warisan pemikiran generasi sebelumnya. Budaya kritis tidak terlarang di Mesir namun tidak banyak yang antusias melakukannya. Sistem pengajaran agama secara kultural dibangun berdasarkan kemampuan menghafal dan sedikit menepikan kemampuan memahami. Hal ini menjadi gambaran umum dari mayoritas markasmarkas pengkajian agama di daerah-daerah Mesir.
Diantara golongan minoritas yang antusias terhadap budaya kritis terhadap pemikiran keagamaan adalah al-Azhar. Sejarah membuktikan bahwa tidak sedikit cendikiawan al-Azhar memiliki karakter yang kuat dalam meletakkan ilmu sebagai panglima terdepan pembangunan peradaban. Seorang alumni al-Azhar bisa saja menjadi seorang fanatis, namun kefanatikannya lahir dari proses pengkajian yang mendalam bukan dari sikap taqli>d buta.
 Golongan berikutnya adalah para sarjana yang bersentuhan dengan filsafat Barat Modern. Ruh dari filsafat ini cenderung sekuler. Tentu saja term sekulerisme tersebut menimbulkan kegaduhan di Mesir mengingat kondisi sosio kultur Mesir yang terbiasa dengan prinsip religius baik dalam tataran formal-positif maupun dalam penghayatan nilai. Pemisahan keduanya dalam ruang yang berbeda dianggap sebuah penghianatan besar terhadap agama.
Bangsa Mesir adalah bangsa yang cinta ilmu dan menghargai kebenaran. Berlatar sikap cinta ilmu itulah, Islam berhasil didakwahkan di Mesir secara damai. Waktu yang lama dan keistiqomahan para penyebar Islam menjadikan agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas rakyat Mesir.37 Sikap fanatik yang bersarang di Mesir bukan lahir dari karakter asli Bangsa Mesir, sikap tersebut lahir akibat dari keterbatasan akses mayoritas muslim Mesir terhadap lautan hikmah ilmu. Ekonomi yang tersendat dan stabilitas politik yang tidak menentu menjadi alasan terkuat bagi keterbatasan akses tersebut bisa terjadi.





BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Memudarnya pengaruh Kekhilafan Turki ‘Uthmani (1294-1924 M) di permulaan abad 20 berdampak pada eskalasi politik yang meningkat di provinsi-provinsi dari wilayah taklukan yang jauh dari pusat pemerintahan. Hak otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat, disikapi beragam oleh pemerintahan lokal. Penguasa Mesir (Pasha) saat itu yakni Muhammad ‘Ali mengambil kesempatan dari otonomi untuk melakukan sebuah lompatan kebudayaan; menerima modernisasi Barat. Sebuah keputusan besar yang kelak menjadi pondasi bagi gerakan Nasionalisme Mesir.
Setiap ide dan gerakan pasti memiliki pondasi-pondasi ideologis. Pondasi-pondasi tersebut dapat digali kembali melalui kajian epistemologis. Mayoritas peneliti orientalis biasanya merujuk kepada konsep pondasi nasionalisme 8 Mesir yang dirumuskan oleh Taha Husayn.
Sejarah berkembangnya nasionalisme di dunia identik dengan sebuah perubahan besar di ranah sosial kemasyarakatan. Fenomena yang umum terjadi adalah pengentalan identitas kebangsaan yang tercermin dalam falsafah hidup. Berbicara tentang falsafah hidup, kesetaraan derajat merupakan ide yang paling sering disuarakan. Ide kesetaraan ini tidak berjalan sendiri karena biasanya dikaitkan dengan demokrasi sebagai bentuk pengejawantahan kesetaraan dalam ranah politik.
B.     SARAN
Semoga makalah ini dapat dapat bermanfaat, menjadi acuan refrensi bagi pembaca.




DAFTAR PUSTAKA

Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah Nasional Indonesia dan umum 2. Jakarta :
Erlangga
Hamid Hasan,Said dkk. 2010. Sejarah SMA 2 program IPS. Jakarta : Bumi
Aksara
Ratnaningsih, Neiny. 2003. Memahami sejarah 2. Bandung : Ganera Exact
M.C.

Mohon Maaf Jika Contoh Makalahnya Tidak Bisa Di COPY PASTE

Silahkan Download Filenya


Di Sini(Google Drive)

Related Posts

Subscribe Our Newsletter