MAKALAH FIQH IBADAH "HUKUM PENUNDAAN HAID DALAM IBADAH"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang telah banyak orang ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memberi pengarahan-pengarahan yang khusus terhadap kaum Hawa, hal ini seiring Al-Quran dan Al-Hadits yang mengkhususkan pembahasan bagi wanita yang berkaitan dengan fitrah wanita itu sendiri yang tidak dimiliki oleh kaum Adam, masalah haid misalnya, yang secara fitrah akan dimiliki oleh wanita normal serta subur dan boleh hamil.
Sebagaimana diungkapkan Rasullullah SAW. Juga, “syurga itu berada dibawah telapak kaki ibu.” Pada hadits lain beliau mengatakan, “wanita adalah tiang negara. Jika wanitanya baik, baik pula negaranya. Dan apabila buruk wanitanya, maka buruk pulalah negaranya”. Untuk itu keutamaan sikap hidup menuju citra muslimah sejati harus selalu diusahakan melalui berbagai cara. Dan salah satu jalan yang tidak diragukan adalah dengan pendekatan diri yang lebih tulus kepada Allah. Yaitu lewat pengabdian dan ibadah sebaik-baiknya.
Lahan untuk mencapai cita-cita mulia itu antara lain terhampar dalam pelaksanaan ibadah haji dan puasa pada bulan ramadhan. Banyak sekali penggambaran dalam Al-Qur’an dan Hadits mengenai keutamaan melaksanakan ibadah haji dan puasa ramadhan. Dengan dasar ini banyak sekali wanita rela berkorban agar dapat melaksanakan berbagai amalan dalam ibadah haji, dan agar dapat menunaikan ibadah puasa ramadhan secara penuh dengan tujuan supaya memperoleh apa yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebab umumnya mereka berusia subur dan tidak dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dikarenakan kedatangan tamu bulanan berupa menstruasi.
Menstruasi atau haid terjadi secara periodik pada semua perempuan sehat yang memiliki organ reproduksi sehat juga. Haid bahkan bisa menjadi indikator kesuburan.
Namun siklus bulanan tersebut kerap menjadi masalah bagi wanita (sebagaimana pada kasus menunaikan ibadah haji dan puasa ramadhan tadi) karean hukum islam melarang wanita yang sedang haid melakukan ibadah.
Teknologi terkini dibidang terapi hormonal telah memungkinkan pengaturan waktu terjadinya haid secara tetap sesuai keinginan. Bisa dimajukan atau dimundurkan.hal tersebut dapat dilakukan dengan mengkonsumsi obat atau jamu penunda haid.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Haid, dan obat penunda haid dan Kapan waktu penggunaan obat penunda haid?
2. Apa manfaat dan kemadaratan dari penggunaan obat penunda haid?
3. Apa Hukum penggunaan obat Menunda Haid dan Hukum Menunda Haid dalam Ibadah Haji dan Puasa Ramadan?
C. Tujuan
1. untuk mengetahui Pengertian Haid, dan pil penunda haid dan Kapan waktu penggunaan pil penunda haid
2. untuk mengetahui manfaat dan kemadaratan dari penggunaan obat penunda haid
3. untuk mengetahui Apa Hukum penggunaan obat Menunda Haid dan Hukum Menunda Haid dalam Ibadah Haji dan Puasa Ramadan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Haid, Obat Penunda Haid, Dan Waktu Penggunaan Obat Penunda Haid.
a. Pengertian Haid
Secara lughot atau bahasa Arab haid artinya sesuatu yang mengalir. Sedangkan menurut hukum syara’ atau hukum fiqih artinya adalah darah yang keluar mengalir dari rahim wanita secara alami, tanpa sebab dan pada waktu tertentu saja. Haid adalah darah alami, tidak muncul karena sebab penyakit, luka, keguguran, atau bersalin. Karena haid adalah darah alami, maka texturnya juga berbeda. Sesuai kondisi, lingkungan, temperatur udara tempat wanita tersebut hidup. Dari segi medis, haid adalah suatu keadaan dimana rahim (uterus) permukaanya (endometrium) lepas disertai pendarahan(fertilisasi).
Dipermukaan rahim yang penuh luka-luka,terjadi pelepasan permukaan yang selanjutnya akan diikuti oleh pembaharuan permukaan rahim itu. Hal tersebut dapat terjadi antara lain karena pengaruh hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kalenjer wanita. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa haid adalah darah yang keluar dari rahim pada semua perempuan yang sehat alat reproduksinya. Bukan karena penyakit atau benturan kecelakaan. Haid juga bisa dijadikan indikator kesuburan. Namun siklus bulanan tersebut kerap menjadi masalah bagi perempuan karena hukum islam melarang perempuan yang sedang haid melakukan ibadah. Wanita yang sedang haid dilarang melakukan 6 kegiatan yaitu:
1. Thawaf,
2. Sholat, baik wajib maupun sunnah,
3. Berdiam diri didalam mesjid,
4. Memegang dan membaca Al-Qur’an,
5. berpuasa,
6. Bersenggama.
Kegiatan- kegiatan dalam ibadah haji seperti Sa’i, wukuf, Mabid, melontar jumrah, dan memotong rambut boleh dilakukan dalam keadaan haid.
b. Obat Penunda Haid
Obat siklus haid adalah obat obat yang bisa dipakai untuk mengatur saat datangnya haid pada wanita tergantung pada keinginan dengan cara memajukan atau menunda saat haid tersebut. Salah satu contoh obat yang biasa digunakan untuk mengatur siklus haid adalah Primolut N. Obat ini sering digunakan calon jemaah haji wanita yang hendak menunaikan ibadah hajinya di mekkah. Jenis obat ini mengandung hormon progestin dan hormon progesterone yang digunakan untuk mempercepat atu memperlambat masa datangnya haid, baik secara terpisah maupun kombinasi, karena siklus haid dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron.
Pada dasarnya ada dua faktor yang menjadi alasan bagi wanita untuk memakai obat pengatur siklus haid, yaitu: Untuk keperluan ibadah dan untuk keperluan diluar ibadah. Penggunaan pil pengguna haid dibagi menjadi dua:
1. Memajukan saat haid
Dengan cara meminum pil atau tablet yang hanya berisi hormon estrogen atau kombinasi pada hari kelima pada siklus haid dari hari ke dua sampai hari ketiga sebelum datangnya haid yang diinginkan karena haid yang biasa disebut pendarahan putus obat (Withdraw Bleeding) akan terjadi dua sampai tiga hari setelah obat habis
2. Menunda saat haid
Dengan cara meminum pil yang hanya berisi progesteron atau kombinasi pada hari sebelum haid berikutnya datang sampai pada hari ke dua sebelum haid yang diinginkan. Karena biasanya haid itu akan datang setelah dua hari penghentian pil tersebut.
B. Manfaat Dan Kemadaratan Dari Penggunaan Obat Penunda Haid
Haid secara bahasa berarti aliran. Sedangkan menurut syariat haid berarti darah kotor yang keluar dari pangkal rahim perempuan setelah masa baligh pada waktu sehat dan tanpa sebab, pada saat-saat tertentu. Darah haid keluar setiap bulan sekali pada perempuan, namun yang terjadi di masyarakat sekarang ini siklus haid yang terjadi di setiap bulannya bisa di mundurkan bisa di majukan. Mengundurkan masa haid bisa berupa penundaan menstruasi agar dalam waktu tertentu tidak datang menstruasi dikarenakan adanya suatu hajat.
Perkembangan teknologi farmasi sekarang ini sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga, mampu menghasilkan obat penunda haid yang berupa pil ataupun suntik yaitu progestin (progerteron) yang mana kombinasi estrogen dengan progesterone (pil KB).Adanya obat ini memberikan manfaat bagi perempuan yang memiliki keinginan untuk menjalankan ibadah puasa secara sempurna (penuh) seperti halnya dalam melakukan ibadah haji.
Adapun kemadharatan yang bisa ditimbulkan dari pemakaian obat ini ialah tidak baiknya bagi kesehatan perempuan terutama bagi rahim perempuan. Selain itu hal yang sangat membahayakan bisa mengakibatkan komplikasi yang sangat serius terhadap kemandulan. Penggunaan obat penunda haid ini juga harus sesuai dengan jumlah takarannya dan hanya digunakan pada jangka waktu tertentu. Efek negatif lainnya yang diakibatkan dari mengkonsumsi obat penunda haid adalah sebagai berikut:
1. Rasa mual dan muntah-muntah
2. Sakit kepala hebat
3. Perasaan lelah dan gelisah
4. Darah tinggi
5. Pigmentasi pada muka
6. Keputihan
7. Nafsu makan bertambah
C. Hukum penggunaan obat Menunda Haid dan Hukum Menunda Haid dalam Ibadah Haji dan Puasa Ramadan
a. Hukum penggunaan obat Menunda Haid
Setelah diketahui manfaat dan kemudharatan yang ditimbulkan dari pemakaian obat penunda haidh, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita menghukumi penggunaan obat penunda haid untuk penyempurnaan puasa ramadhan yang dilakukan oleh para perempuan pada masa sekarang ini? Untuk itu dalam hal ini kami memberikan tiga ketetapan hukum berkaitan dengan hal tersebut:
1. Mubah
Dalam kajian fiqh, salah satu metode istimbath hukum islam yang lebih banyak menekankan aspek maslahah dalam pengambilan keputusan hukumnya adalah maslahah mursalah. Salah satu persyaratan maslahah mursalah yaitu tidak adanya dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya. Sehingga dalam masalah hukum menunda haid dimana tidak terdapat nash yang mengaturnya maka argumentasi tersebut didasarkan pada metode maslahah mursalah. Yang dalam hal ini berlaku kaidah:
الاصل فى الاصول الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم.
Artinya:
“Hukum asal dari segala sesuatu itu boleh (mubah) kecuali terdapat adanya dalil yang mengharamkannya.” Berdasarkan sidang komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 12 Januari 1979 memutuskan bahwa menggunakan obat penunda haid adalah mubah bagi wanita yang sukar mengqadha’ puasa ramadhan pada hari lain.
Tidak jauh berbeda dari fatwa MUI di atas dalam Muktamar NU ke-28 memutuskan bahwa usaha menangguhkan haid adalah boleh dengan catatan tidak membahayakan bagi pelaku atau pengguna dan tidak sampai memutus keturunan (merusak sel reproduksi), dan tidak berdampak tertundanya kehamilan.
Sedangkan menurut Yusuf Al-Qaradhawi, mengatakan bahwa beliau secara pribadi lebih mengutamakan jika segala sesuatu itu berjalan sesuai dengan tabiat dan fitrahnya. Maka selama darah haid merupakan perkara tabii (kebiasaan) dan fitri dan hendaklah dibiarkan berjalan sesuai dengan tabiat dan fitrahnya. Namun demikian, jika ada wanita muslimah menggunakan pil untuk mengatur waktu haidnya sehingga ia dapat terus berpuasa pada bulan ramadhan, hal ini tidak dilarang. Dengan syarat pil tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tidak akan menimbulkan madharat baginya.
Adapun menurut ulama Saudi Arabia Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan bahwa penggunaan obat penunda haid tersebut diperbolehkan. Namun dengan dua syarat yaitu tidak membahayakan kesehatan dan harus seizin dengan suaminya. Pendapatnya tersebut didasarkan pada firman Allah dalam al-Quran surat Al-baqarah Ayat 195
وَأَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوْا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allâh. Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berbuat baik” .
Surat An-nisa ayat 29;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2. Makruh
Penggunaan obat penunda haid juga dapat dihukumi makruh apabila, hanya untuk menyempurnakan ibadah puasa ramadhan dan tidak ada kesulitan untuk mengqadha puasa ramadhan di hari yang lain. Di mana, seakan-akan perempuan itu mempunyai sifat malas berpuasa di hari lain karena terlalu berat, jika dibandingkan puasa bersama-sama pada bulan Ramadhan. Hal tersebut berdasarkan pada Fatwa MUI pada tanggal 12 Januari 1979 yang menyatakan bahwa penggunaan obat penunda haid adalah makruh jika untuk menyempurnakan puasa ramadhan, namun dapat mengqadha’ pada hari lain tanpa kesulitan.
Selain berdasarkan pada fatwa MUI di atas hukum makruhnya menggunakan obat penunda haidh di dasarkan pula dalam beberapa hadist :
a. pada dasarnya orang yang tidak berpuasa karena udzur adalah perempuan yang sedang melakukan suatu bentuk rukhsah (keringanan) sesuai sabda Nabi yang artinya “sesungguhnya Allah menyukai untuk dilakukan rukhsahnya sebagaimana ia menyukai untuk ditunaikan ‘azimahnya (beban moral)” (HR.Thabrani dan al-Baihaqi)
b. Rasulullah juga bersabda yang artinya (“Barang siapa yang berbuka pada suatu hari di bulan ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan Allah maka tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia betul-betul melakukannya” (HR.Abu Dawud) maksudnya orang mengqodho akibat buka puasa atas dasar udzur, maka qodhonya sama dengan puasa di bulan ramadhan.
c. Terdapat hadist yang pengertian zahirnya mengindikasikan bahwa tidak shalatnya wanita akibat udzur dan tidak puasanya wanita meski di qodho adalah bagian dari kekurangan wanita dalam beragama.
Kutipan hadist tersebut ialah:
أليس إذا حاضت لم تصلى ولم تصم؟ قلن : بلى, قا ل فذلك من نقصان دينها
“ Bukankah jika sedang haidh dia tidak shalat dan tidak berpuasa? Mereka menjawab :”Benar”. Nabi bersabda: “demikianlah bentuk kekurangan agamanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Haram
Adapun landasan keharaman yang ditetapkan dalam penggunaan obat penunda haid ini adalah berdasarkan pada metode Saddudz Dzari’ah, Para ulama mendefinisikannya dengan mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan. Jika ada suatu perbuatan baik tetapi dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan maka menurut metode ini perbuatan tersebut harus dicegah dan dilarang.
Dalam hal ini dilihat dari tujuan digunakannya obat penunda haid adalah merupakan suatu perbuatan baik karena keinginan perempuan untuk bisa menjalankan ibadah puasa serta amalan-amalan lainnya di bulan Ramadhan secara penuh dan sempurna. Akan tetapi, efek yang dapat ditimbulkan dari penggunaan obat tersebut yang dapat merusak Rahim inilah yang menjadi pegangan atas larangan mengenai penggunaan obat tersebut. Apalagi hingga menyebabkan kemandulan bagi seorang perempuan hal ini pasti juga akan berdampak kesulitan untuk mendapatkan seorang keturunan.
Menurut Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi beliau mengatakan bahwa penggunaan obat penunda haid dapat merusak metabolisme tubuh manusia. Perbuatan itu harus dihindari oleh para perempuan muslim. Khususnya, pada bulan ramadhan. Sejatinya biarkan haidh itu datang secara normal dan puasa yang telah terlewat diganti pada hari lain sebagaimana telah ditentukan Allah di dalam nash dengan jelas.
Berkenaan dengan hal itu para fuqaha juga sepakat, bahwa wajib berbuka atas perempuan-perempuan dalam keadaan haidh dan nifas, dan haram bagi mereka berpuasa. Dan jika mereka berpuasa, maka puasa itu tidak sah dan dianggap batal. Perempuan-perempuan dalam keadaan haidh dan nifas itu wajib mengqodho puasa sebanyak yang ia tinggalkan. Hal tersebut sebagaimana
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Aisyah:
كُنَّا نَحِيْضُ عَلَى عَهْدِرَ سُوْلِاللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَنُؤْمَرُبِقَضَاءِالصَّوْمِ , وَلَانُؤنُؤْمَرُبِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.
“Kami berhaidh di masa rasulullah saw. Maka kami dititah mengkadha puasa, dan tidak dititah mengkadha shalat” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan menurut pendapat dari Ibnu Utsaimin, menggunakan obat penunda haid itu tidak perlu dilakukan oleh kaum perempuan. Perempuan tetaplah pada ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, karena dibalik kebiasaan bulanan itu Allah SWT telah menetapkan hikmah tersendiri. Hikmah tersebut sesuai dengan tabiat kaum wanita. Jika kebiasaan itu dicegah, maka tidak diragukan lagi akan ada efek samping yang berbahaya bagi tubuh si wanita tersebut, Nabi bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ.
“Tidak boleh melakukan yang berbahaya (kepada diri sendiri) dan tidak boleh menimbulkan bahaya (kepada orang lain).
Jika dilihat dari dampak yang bisa diakibatkan oleh pil-pil tersebut, yaitu adanya bahaya yang mengancam rahim, maka menurut beliau dalam masalah ini, hendaknya kaum perempuan tidak menggunakan nya. Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan katentuan Nya dan hikmah Nya, yaitu saat datangnya haid, kaum wanita tidak boleh puasa dan shalat, kemudian setelah suci baru boleh puasa dan shalat, selesai ramadhan ia tinggal mengqadha’ puasa yang dilewatinya.
1. Hukum Menunda Haid dalam Pelaksanaan Ibadah Haji
Menunaikan ibadah haji bagi para calon jemaah haji wanita usia subur, terdapat halangan haid yang dapat menyebabkan tertundanya rukun haji yaitu thawaf (mengelilingi ka’bah) tidak bisa bersama muhrim, keluarga, atau bahkan kelompok terbangnya (kloter) nya, yang dapat mengganggu psikologis calon jemaah haji sehingga dapat mengalami gangguan psikologis dan menggangu kesempurnaan hajinya. Disamping itu karena mengalami haid dapat menyebabkan calon jemaah haji tidak dapat melaksanakan sholat arba’in (40 waktu sholat) di mesjid nabawi yang merupakan idaman setiaporang yang menunaikan ibadah haji.
Perkembangan ilmu kedokteran menawarkan obat menunda haid dalam berhaji. Sehingga dapat melakukan thawaf dan rukun haji lainya bersama dimekkah, serta dapat sholat arba’in dimadinah sebagaimna yang diinginkan. Tanpa terhalang haid, sehingga calon jemaah haji dapat menunaikan ibadah haji dengan sempurna.
Adapun aspek hukumnya terdapat berbagai pendapat para ulama. Syekh Mar’i Al Maqdisy Al-Hanbali, Syaikh Ibrahim bin Muhammad (keduanya ahli fiqih madzhab Hanbali) dan yusuf Al- Qardawy (Ahli fiqih Kontemporer) berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan hajinya (dan umrah) tidak sempurna,maka dia boleh menggunakan obat menunda hainya. Alasan mereka adalah karena wanita itu sulit menyempurnakan hajinya, sedangkan teks atau dalil yang melarang menunda haid itu tidak ada. Selain itu Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang komosi fatwanya pada tahun 1984 menetapkan, bahwa untuk kesempurnaan dan kekhusukan seorang wanita dalam melaksanakan ibadah haji hukunya adalah mubah (boleh) para fuqaha’ ( ulama ahli fiqih) mayoritas sependapat menunda haid untuk berhaji dengan obat-obatan. Hal ini sebagaimana dasar kaidah fiqiyyah yang menyatakan, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya mubah sampai ada dalil yang melarangnya.
2. Hukum Menunda Haid dalam Pelaksanaan Ibadah Puasa Ramadhan
Seiring kemajuan dunia kesehatan, masalah siklus haid atau menstruasi bagi wanita sudah bisa ditunda dengan mengkonsumsi obat atau pil penunda haid. Yang menjadi permasalahan adalah bolehkah menunda siklus haid untuk tujuan menunaikan ibadah puasa ramadhan?
Menurut Drs KH. Ahmad faisal Haq, M.Ag, para ulama mempunyai beberapa pendapat menyangkut menunda datangnya haid atau menstruasi dengan mengkonsumsi pil haid selama bulan ramadhan. Terdapat sejumlah ulama yang berpendapat bahwa hukumnya adalah tidak diperbolehkan.
Dalam durus wa fatwa Al haram Al makki Ibnu Utsmain mengatakan kepada para wanita yang mendapatkan haid pada bulan ramadhan “Syeikh Utsmain ditanya oleh seseorang: “ Apakah boleh seseorang wanita menggunakan pil penunda haid pada bulan ramadhan dan lainya? Beliau menjawab: “menurut hemat saya dalam masalah ini agar para wanita tidak menggunakanya biak dibulan ramadhan atau dibulan lainya, karena menurut para dokter hal ini menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi rahim, urat syaraf dan darah. Dan segala sesuatu yang menimbulkan bahaya adalah dilarang. Padahal Nabi SAW telah bersabda:”janganlah kamu melakukan tindakan yang mmbahayakan dirimu dan orang lain’’.dan kami telah mengetahui dari mayoritas wanita yang menggunakanya bahwa kebiasaan haid mereka berubah, dan menyibukkan para ulama membicarakan masalah tersebut.maka yang paling benar adalah tidak menggunakan obat tersebut selamanya baik dibulan ramadhan maupun lainya.
Menurut KH. Habib Syarif Muhammad, hukum awal pemakaian obat obat penunda haid dalam islam tidak terbolehkan. “ pemakaian obat berarti ingin menunda, sehingga melawan ketentuan yang telah digariskan. Perempuan memiliki siklus haid secara alamiah, sebagai rahmad dari Allah. Hanya ibadah haji merupakan amalan yang tidak bisa dilakukan setiap tahun dengan pengorbanan harta, tenaga, yang tidak sedikit.
Namun demikian, ada banyak ulama yang berpendapat berbeda dengan pendapat diatas, diantaranya adalah;
Menyatakan boleh, dasar yang diambil menjadi pegangan berasal dari alqur’an dan dan Hadits misalnya surah Al-baqarah ayat 185;
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan atas kamu dan tidak menginginkan kesulitan menimpamu”.
Selain itu Ibnu Qudamah Al Hanbaly dalam kitabnya Al Mughni (madzhab Hambali) dan Hutbah Al Maliki dalam kitabnya Mawahib Al jalil (Madzhab Maliki) serta Imam Ramli Asy Syafi’i dalam An-Nihyahnya (madzhab Syafi’i) Mereka menyatakan bahwa menggunakan pil pencegah haid dalam tujuan agar dapat melaksanakan puasa ramadhan dan ibadah lainya hukumnya mubah dalam artian boleh boleh saja, selagi tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan wanita.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya dalam hal penggunaan obat penunda haid para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya hal tersebut berkaitan erat dengan prinsip kemaslahatan itu sendiri yang bersifat dinamis dan fleksibel. Artinya, pertimbangan kemaslahatan akan berkembang seiring dengan perubahan zaman. Penggunaan obat penunda haid
1. Manfaat dari penggunaan obat penunda haid ini adalah kita bisa
mempergunakannya untuk menyempurnakan puasa ramadhan. Dan bagi kita yang sukar mengqadha’ puasa untuk para kaum perempuan bisa menggunakan obat penunda haid ini sebagai solusi. Adapun kemadharatan dari penggunaan obat penunda haid ini adalah efek kesehatan yang yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi obat tersebut. Efek ini bisa membahayakan rahim perempuan hingga membuat kemandulan yang di derita oleh perempuan yang mengkonsumsi obat tersebut. Bahkan para dokter spesialis pun menyarankan agar dalam penggunaannya harus disesuaikan dengan takaran yang disarankan oleh dokter.
2. Hukum dalam penggunaan obat penunda haid ketika puasa ramadhan dapat dikategorikan menjadi mubah , makruh dan haram.
Mubah karena masalah dalam hukum menunda haid tidak terdapat nash yang mengaturnya maka argumentasi tersebut didasarkan pada metode maslahah mursalah. Makruh karena hanya untuk menyempurnakan ibadah puasa ramadhan dan tidak ada kesulitan untuk mengqadha puasa ramadhan di hari yang lain. Dan Haram karena berdasarkan metode Saddudz Dzari’ah, dimana jika ada suatu perbuatan baik tetapi dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan maka menurut metode ini perbuatan tersebut harus dicegah dan dilarang.
B. Saran
Fitrah sebagai seorang perempuan dengan mengalami mentruasi akan selalu ada dalam fatwa para ulama mengenai hukum menunda haid untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, terlihat jelas upaya mewujudkan kemaslahatan dalam perumusan hukum. Bahwa disana terdapat beberapa perbedaan pendapat, hal itu berkaitan erat dengan prinsip kemaslahatan itu sendiri yang bersifat dinamis dan fleksibel. Artinya, pertimbangan kemaslahatan akan berkembang seiring dengan perubahan zaman. Sehingga, sebagai konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap mashlahah pada masa lalu belum tentu dianggap mashlahah pada masa sekarang. Sifat fatwa yang kasuistik dan kondisional tersebut
تغير الفتوى بحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
Perubahan fatwa terjadi karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan.