MAKALAH HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD


MAKALAH HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD 
BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Isalam, terutama dalam ilmu hadist banyak sekali bahasan dalam ilmu hadist yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadist.
Hadist merupakan semua hal, baik berupa ucapan, perbuatan, pernyataan dan hal yang disandarkan kepad Nabi Muhammad SAW. Dalam agama Islam kedudukan hadist menjadi sumber ajaran yang berada dibawah kitab suci Al- Quran. Akan tetapi tidak semua atau sembarang hadist bisa dijadikan sebagai pedoman atau dasar hukum. Dan kita harus mengetahui pembagian-pembagian hadist agar kita tau tingkatan atau kelas hadist yang akan kita pakai tersebut.
Maka dari sinilah kami menulis makalah tentang pembagian hadist dari segi kuantitas prawi yang bertujuan agar kita dapat mengetahui kelas-kelas hadist yang akan kita jadikan sebagai pedoman.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Dibagi berapa bagian hadist yang ditinjau dari segi kuantitas perawi?
2.      Apa pengertian dan pembagian Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad?
3.      Bagaimana kedudukan Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad?

C.      TUJUAN PENULISAN
1.      Menyebutkan bagian-bagian hadist apabila ditinjau dari segi kuantitas perawi.
2.      Menjelaskan pengertian dan pembagian Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad.
3.      Menjelaskan kedudukan Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad
BAB II
PEMBAHASAN

      A.    Pembagian Hadis Berdasarkan Kuantitas Rawi
Hadis ditinjau dari segi sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita terbagi pada dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.[1]
1.      Hadis Mutawatir
a.       Pengertian hadis mutawatir
Mutawatir, menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’(berturut-turut).
Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis adalah,
Khabar yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.
Adapun dari redaksi lain pengertian mutawatir ialah:
مَاكانَ عَنْ مَحْسُوسٍ اَخْبَرَ بِهِ جَمَا عَةٌ بَلَغُوْا فِى الكَسْرَةِ مَبْلَغًا تَحِيْلُ العَادَةُ تَوَاْطؤهُمْ على الكَدِ بِ
“Hadist yang berdasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong”.

b.      Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Syarat Hadis Mutawatir ini adalah:
1.      Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
2.      Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah relatif, tidak ada batas tertentu. Menurut Abu Ath Thayib, jumlah perawinya empat orang, Ashab Asy-Syafi’i menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh atau empat puluh orang.
3.      Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.
c.       Klasifikasi Hadis Mutawatir
Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga, yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi, dan mutawatir amali.
1.      Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya, yakni :
مَاتَوَاتَرَلَفْظُهُ وَمَعْنَاهُ
Hadis yang sama bunyi lafazh, hukum, dan maknanya.
Contoh Hadis mutawatir lafzhi adalah :
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (H.R. Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis, yaitu Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.
2.      Hadis Mytawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis,
َاتَوَاتَرمَعْنَاهُ دُوْنَ لفْظِهِ

Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi adalah
Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (H.R.Bukhari)
Hadis-hadis yang semakin dengan hadis tersebut banyak sekali, lebih dari 100 hadis.
3.      Hadis Mutawatir ‘Amali
Hadis Mutawatir ‘amali adalah,Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam bahwa Nabi SAW. Mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesempatan, ijma.
d.      Kitab-kitab tentang Hadis-hadis Mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Dia antara kitab-kitab tersebut adalah :
1)      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2)      Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
3)      Al-La’ali Al-Mutanatsirrah fi  Al-Alhadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4)      Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
2.      Hadis Ahad
a.      Pengertian Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.
Menurut istilah, hadits ahad adalah:
مَالَمْ يَجْمَعْ شُرُوْطَ الْمُتَوَاتِرِ
Hadits yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadits mutawatir

Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir
Hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak memberi pengertian bahwa hadi itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir.
b.      Klasifikasi Hadis Ahad
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi dalam tiga macam yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.
1.      Hadis Masyhur
a.       Pengertian hadis masyhur
Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer. Adapun menurut istilah, hadis masyhur adalah, hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah tidak mencapai derajat mutawatir.
b.      Klasifikasi hadis masyhur
Istilah ‘masyhur’ yang diterapkan pada suatu hadis kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadis, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadis yang mempunyai ketenaran dikalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan masyarakat ramai. Dari segi ini, hadis masyhur terbagi kepada:
1)      Masyhur di kalangan para muhaditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum), seperti hadis,
Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya.
2)      Masyhur dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur dikalangan ahli hadis saja, ahli fiqh saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
Contoh hadis masyhur di kalangan ulama ushul fiqh adalah,
Terangkanlah (dosa) dari umatku, kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka lakukan karena terpaksa. (H.R. At-Thabrani dari Ibnu Abbas)
3)      Masyhur di kalangan masyarakat umum, seperti hadis,
Bagi si peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda. (H.R. Ahmad dan An-Nasa’i)
c.       Kitab-kitab yang berisi tentang kumpulan hadis masyhur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi, Kasyf Al-Khafa’wa Muzil Al-Ilbas fi Ma Isytahara min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadis karya Ibnu Daiba’ A-Syaibani.
2.      Hadis ‘Aziz
Aziz menurut bahasa adalah AsySafief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qawiyu (yang kuat).
Adapun menurut istilah, hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.

Berikut ini contoh hadis ‘aziz.
a.       Contoh hadis ‘aziz pada thabaqah pertama :
Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari Kiamat. (H.R. Ahmad dan An-Nasa’i)
Hadis tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) pertama, yakni Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Abu Hurairah. Hadis tersebut pada thabaqah kedua sudah menjadi masyhursebab melalui periwayatan Abu Hurairah, hadis diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al-‘Araj, Abu Shalih, Humam, dan ‘Abd Ar-Rahman.
b.      Contoh hadis ‘aziz pada thabaqah kedua, yaitu:
Tidak sempurna iman seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya. (Mutafaq’alaih)
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik (thabaqah pertama) kemudia diterima oleh Qatadah dan ‘Abd. Al-‘Aziz (thabaqah kedua). Dari Qatadah diterima oleh Husain Al-Mu’alim dan Syu’bah, sedangkan dari ‘Abd. Al-Warist dan Ismail bin Ulaiyah (thabaqah ketiga). Pada thabaqah keempat, hadis itu diterima masing-masing oleh Yahya ibn Ja’far dan Yahya ibn Sa’id dari Syu’bah , Zuhair ibn Harb dari Ismail dan Syaiban ibn Abi Syaibah dari ‘Abd Al-Warits. Sebagaimana hadis masyhur, hadis ‘aziz pun ada yang sahih, hasan, dan dhaif. Ke’aziz;an suatu hadis tidak identik dengan sahih –tidaknya nilai hadis.




3.      Hadis Gharib
a.       Pengertian hadis gharib
Gharib menurut bahasa adalah ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah), dan  Kalimat yang sukar dipahami. Adapun menurut istilah, hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi.
Dalam pengertian lain, hadis gharib adalah, hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi. Artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadis tersebut. Contoh hadis gharib,
Dan Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw telah bersabda, “iman itu bercabanu itu cabang menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman.” (H.R.Bukhari)
b.      Klasifikasi hadis gharib
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi pada dua macam, yaitu gharib muthlaq dan garib nisby.
1)      Gharib muthlaq
Gharib muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu. Penyendirian rawi hadis gharib muthlaq itu berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabi’in bukan sahabat.
2)      Gharib nisby
Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain:
a.       Sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi
b.      Kota atau tempat tinggal tertentu
c.       Meriwayatkannya dari orang tertentu
Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib terbagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu :
c.       Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadis
Untuk menetapkan satu hadis itu gharib, hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab jami’ dan kitab musnad, apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar. Menurut istilah, ilmu hadis mutabi’ adalah, hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang terdekat), atau gurunya (yang terdekat itu).
Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai berikut .
1)      Mutabi’ tam, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru ( mutaba’) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
2)      Mutabi’ qashir,  yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
Adapun syahid adalah, meriwayatkan sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya.
Hadis syahid ada dua macam, yaitu:
1)      Syahid bi Al- Lafzhi, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard-nya.
2)      Syahid bi Al- Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.

c.    Kedudukan Hadis Ahad dan Pendapat Ulama Tentang Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad.
Pendapat tersebut antara lain :[2]
1.      Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagaian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2.      Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faedah dhan. Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3.      Sebagai ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.      Sebagai muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakandalam urusan aqa’id (akidah).
5.      Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al-Quran dengan hadis ahad.
6.      Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhsis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.


      B.     Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Rawi
Hadis ditinjau dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya, terbagi dalam tiga macam, yaitu sahih, hasan, dan dhaif.
1.      Hadis Sahih
a.       Pengertian Hadis Sahih
Sahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘iilat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Dalam definisi lain hadis sahih adalah, Hadis yang dimiliki (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat, dan tidak ganjal.
b.      Syarat-syarat Hadis Sahih
Menurut muhaditsin, suatu hadis dapat dinilai sahih, apabila memenuhi syarat berikut :
1.      Rawinya bersifat adil
Menurut Syuhudi Ismail, keriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah:
a.       Beragama islam
b.      Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf)
c.        Melaksanakan ketentuan agama
d.      Memelihara muru’ah
2.      Rawinya bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
3.      Sanadnya bersambung
Yang dimaksudkan dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari setiap rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila :
a.       Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit).
b.      Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
4.      Tidak ber-‘illat
Maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
5.      Tidak syadz (janggal)
Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tajrih yang lain.
Jadi, hadis sahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabitnya-annya, sanadnya muttashil, dan tidak cacat matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.
c.    Klasifikasi Hadis Sahih
Hadis sahih terbagi menjadi dua, yaitu sahih li dzatih dan sahih li ghairih. Sahih li dzatihi adalah hadis sahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti yang telah disebutkan di ata, Adapun hadis sahih li ghairih adalah sahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya, rawinya yang adil tidak sempurna ke dhabit-annya (kapasitas intelektualnya rendah). Dengan demikian, sahih li ghairih adalah hadis yang kesahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, hadis hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajat dari hasan ke derajat sahih.
d.   Martabat Hadis Sahih
Hadis sahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadis yang bersanad ashahul asanid, kemudian berturut-turut sebagai berikut :
1.      Hadis yang disepakati oleh Bukhari Muslim
2.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri.
3.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
4.      Hadis sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim, sedangkan kedua Imam itu tidak men-takhrijnya.
5.      Hadis sahih menurut syarat Bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya.
6.      Hadis sahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak men-takhrijnya.
7.      Hadis sahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan Muslim. Ini berarti si pen-takhrij tidak mengambil hadis dari rawi-rawi atau guru-guru Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan. Akan tetapi, hadis yang di-takhrij-kan tersebut, disahihkan oleh Imam-imam hadis yang kenamaan. Misalnya hadis-hadis sahih yang terdapat pada sahih ibnu huzaimah, sahih ibnu hibban, dan sahih al-hakim.
e.    Karya-karya yang hanya memuat hadis sahih
Diantara kaya-kaya yang hanya memuat hadis sahih adalah:
1.      Sahih Bukhari
2.      Sahih Muslim
3.      Mustadrak Al-Hakim
4.      Sahih Ibnu Hibban
5.      Sahih Ibnu Khuzaimah
2.      Hadis Hasan
a.      Pengertian Hadis Hasan
Hasan, menurut lughat adalah sifat musybahah dari ‘Al-Husna, artinya bagus.
Menurut Ibnu Hajar, hadis hasan adalah khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.
Untuk membedakan antara hadis sahih dan hadis hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadis tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis sahih rawi-rawi yang bena-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat.
b.      Klasifikasi Hadis Hasan
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan pun terbagi atas hasan li dzatih dan hasan li ghairih.
Hadis yang memenuhi segala syarat-syarat hadis hasan disebut hadis hasan li dzatih. Syarat untuk hadis hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadis sahih, kecuali bahwa para rawinya hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) atau istilah lain yang setaraf atau sama dengan tingkatan tersebut.
Adapun hasan li ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadis dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya (su’u al-hifdzi), tidak dikenal identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi karena dibantu oleh hadis-hadis lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.
c.       Kedudukan hadis sahih dan hadis hasan dalam berhijrah
Kebanyakan ulama ahli hadis dan fuqaha bersepakat untuk menggunakan hadis sahih dan hadis hasan hujjah. Di samping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadis hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada  yang tinggi, menengah, rendah. Hadis yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadis sahih, sedangkan hadis yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadis hasan.
Hadis-hadis yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadis maqbul, dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat  yang dapat diterima disebut hadis mardud.
1.      Hadis sahih, baik sahih li dzatihi maupun sahih li ghairih.
2.      Hadis hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih.
Yang termasuk hadis mardud adalah segala macam hadis dhaif. Hadis mardud tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.
d.      Kitab-kitab yang mengandung hadis hasan
Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadis-hadis hasan secara terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadis sahih,  tetapi hadis hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab, di antaranya :
·           Jami’ At-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadis hasan.
·           Sunan Abu Dawud.
·           Sunan Ad-Daruquthi




BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan masyhur ghayr ishthilahi sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan gharib.

B.       SARAN
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya tidak keliru dalam menyampaikan hadits, dan untuk bisa membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.




[1] Abdul majid.ulumul hadits.(Jakarta:amazon,2010) hlm. 80
[2] Muhammad ghufra.ulumul hadits praktis dan mudah.(Yogyakarta: teras,2013) hal 157

Related Posts

Subscribe Our Newsletter