MAKALAH HUBUNGAN USHUL FIQH DAN QOWA'ID FIQIH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai umat muslim, tentu kita tidak bisa terlepas dari fiqih dalam menjalani kehidupan, baik yang berupahablum minallah maupun hablum minannas. Segala perbuatan orang mukalaf sudah diatur dalam fiqih, dimana fiqih sendiri bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebelum menjadi fiqih yang memuat produk-produk hukum, seorang mujtahid memerlukan metode untuk memahami kandungan dari al-Qur’an dan as-Sunnah dalam melakukan istinbath hukum, selain itu ada beberapa kaidah fiqih yang diperlukan untuk memahami hukum.
Hal-hal di atas memiliki hubungan keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Mengetahui betapa pentingnya fiqih dalam kehidupan kita khususnya fiqih muamalah, dan sebagai pengantar pemahaman ke depannya mengenai fiqih muamalah secara luas dan mendalam, maka kami akan memaparkan penjelasan dari fiqih khusunya fiqih muamalah. Akan tetapi untuk memahami fiqih juga diperlukan pemahaman mengenai ushul fiqih dan qowa’id fiqih, sehingga kami juga akan memaparkannya beserta hubungan ushul fiqih, qowa’id fiqih dan fiqih muamalth dalam pembahasan .
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan di atas maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah yaitu:
1. Apa pengertian dari ushul fiqih?
2. Apa pengertian dari qowa’id fiqih?
3. Apa pengertian dari fiqih ?
4. Bagaimana hubungan antara ushul fiqih, fiqh dan qowa’id fiqih?
C. Tujuan
1. Mengetahui apakah ushul fiqih
2. Mengetahui apakah qowa’id fiqih
3. Mengetahui pengertian dari fiqih
4. Memahami Bagaimana hubungan antara ushul fiqih, fiqh dan qowa’id fiqih
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN USHUL FIQH
Ushul fiqih terdiri dari kata ushul dan fiqih. Ushul merupakan kata jamak dari ashl, yang artinya dasar atau pokok, sedangkan fiqih adalah pemahaman yang mendalam. Menurut ulama, fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil secara tafshiliyah.[1]
Jika kata fiqih ini dikaitkan dengan ushul sehingga menjadi ushul fiqih, maka definisinya menjadi dasar-dasar untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil secara tafsiliyah. Misalnya, shalat menurut fiqihnya adalah wajib, dan menurut ushul fiqihnya adalah dalil syara’ yang menyatakan perintah untuk mendirikan shalat.
Sedangkan menurut terminologi ushul fiqih yaitu metode-metode yang dipakai untuk mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan as-Sunah. Metode istinbath tersebut ada yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, karena al-Qur’an diturunkan berbahasa arab, ada yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk penyelesaian dari dalil-dalil yang kelihatan bertentangan yang disebut dengan tarjih.[2]Sehingga metodologi fiqih dikenal dengan ilmu ushul fiqh.
Menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy ushul fiqh adalah ilmu yang mengungkapkan metode yang telah ditempuh para Mujtahidin, sebagaimana kita dapat mengatakan bawa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan sumber-sumber hukum, atau ilmu yang menerangkan dasar-dasar ilmu fiqh.[3]
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
“Pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya”.[4]
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
1. Dalil (sumber hukum).
2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistinbath) hukum dan sumbernya. [5]
Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten.
ushul fiqih adalah dasar-dasar dari fiqih itu sendiri. Dasar yang dimaksud bukanlah dalil-dalil terperinci sebagaimana dalam fiqih, melainkan dalil global yang menjadi panduan bagaimana menggunakan dalil yang terperinci tersebut. Sebagai contoh; ushul fiqih tidak membicarakan apa dalilnya wudlu, ayat yang mana? Hadits yang mana? Dan lain sebagainya. Dalil-dalil ini sudah masuk dalam ranah fiqih. Ushul fiqih hanya membahas apakah perintah itu menunjukkan wajib ataukah nadb (sunnah) ? Apakah perintah atas sesuatu itu berarti larangan mengerjakan sebaliknya ataukah tidak? Apakah larangan itu berakibat fasad ataukah tidak? Manakah dalil yang umum dan manakah dalil yang khusus? Dan lain sebagainya.
Jadi, ushul fiqih adalah metodologi penggunaan dalil-dalil yang terperinci yang digunakan dalam fiqih. Sedangkan fiqih adalah penggunaan dalil-dalil terperinci tersebut sesuai dengan kaedah yang ada dalam ushul fiqih. Contoh konkritnya adalah: Al-Ashlu fil amri yadullu alal wujub (hukum asal perintah adalah menunjukkan wajib), ini adalah dalil global. Dalil ini diaplikasikan pada perintah Allah dalam al-Qur’an: (al-maidah : 6)
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian mendirikan sholat maka basuhlah wajah kalian, tangan kalian hingga siku-siku dan usaplah kepala-kepala kalian serta (basuhlah) kaki kalian hingga kedua mata kaki” Ayat ini adalah dalil tafshiliyah atau dalil rinci, didalamnya ada perintah. Maka, berdasarkan kaedah ushul fiqih perintah tersebut menunjukkan wajib. Kesimpulannya, hukum fiqih mengatakan wajib berwudlu bagi orang yang akan mengerjakan sholat berdasarkan ayat diatas.
B. Pengertian Fiqih
Ada satu kata kunci dari ketiga istilah fiqih, ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah, yaitu kata fiqih. Fiqih secara bahasa berarti faham atau mengetahui. Secara istilah banyak definisi yang diberikan oleh ulama’. Al-Imam Jalaluddin al-Mahally dalam Jam’ul Jawami’ mendefinisikan fiqih dengan : “Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Definisi ini adalah definisi yang paling sering digunakan untuk menjelaskan fiqih dan dianggap paling mewakili pengertian fiqih secara keseluruhan.
Tujuh Kata Pengurai Fiqih Dalam definisi tersebut ada tujuh kata yang dibangun untuk menguraikan pengertian fiqih.
Tujuh kata tersebut adalah :
1. Al-Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu yang sesuai dengan kenyataan.
2. Al-Ahkam Hukum adalah khithobullah atau titah Allah ﷻ yang berhubungan dengan mukallaf. Yakni, ketentuan-ketentuan dari Allah ﷻ melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ yang harus ditaati oleh setiap muslim yang baligh dan berakal. Ketentuan itu bisa berhubungan langsung dengan aktifitas mukallaf seperti wajib, sunnah atau mandub, makruh, haram atau mubah. Atau menghubungkan sesuatu dengan pekerjaan mukallaf, seperti menjadikan sesuatu sebagai syarat, mani’, sah, batal dan lain sebagainya. Lebih jauh penjelasan tentang hukum akan kami bahas di kesempatan yang lain. Insya Allah.
3. As-Syar’iyah yakni hukum-hukum dalam fiqih dibatasi hanya pada hukum syari’at dimana Rasulullah ﷺ diutus dengannya.
4. Al-Amaliyah hukum syari’at yang menjadi ruang lingkup pembahasan fiqih adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan pekerjaan mukallaf, baik itu pekerjaan hati seperti niat atau yang lain. Fiqih tidak membicarakan hukum-hukum i’tiqodiyah (keyakinan) seperti tentang keberadaan Tuhan itu satu, Tuhan akan dapat dilihat di akhirat dan yang lain. Hukum-hukum ini tidak dibahas di dalam fiqih.
5. Al-Muktasab diperoleh dengan jalan usaha. Maka ilmu Allah ﷻ , malaikat dan Rasulullah ﷺ tidak bisa disebut fiqih.
6. Adillah fiqih mendasarkan semua pembahasannya kepada dalil-dalil. Fiqih tidak diambil hanya berdasarkan ilham atau perasaan atau yang lain.
7. At-tafshiliyah dalil yang digunakan dalam fiqih adalah dalil yang terperinci. Yakni dalil yang digunakan haruslah dalil yang mengarah pada satu masalah yang dibahas seperti wajibnya wudlu diambil dari dalil firman Allah “faghsiluu wujuhakum …. ” misalnya. Bukan menggunakan dalil yang mujmal atau dalil global seperti dalil “perintah itu menunjukkan wajib”.
Dengan demikian, fiqih dapat dikatakan sebagai hasil akhir yang berupa sebuah pengetahuan yang diperoleh dari sebuah proses usaha (muktasab) melalui penelitian terhadap dalil-dalil yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang bersifat aplikatif, artinya siap untuk di amalkan dan memang dirumuskan untuk diamalkan dalam bentuk-bentuk peribadatan, muamalah atau yang lain.[6]
C. Pengertian Qowa’id Fiqhiyah
Sebagaimana ushul fiqih, istilah qowa’id fiqhiyyah ini tersusun dari dua kata yakni qowa’id dan fiqhiyyah. Qowa’id adalah bentuk jamak (plural) dari kata qo’idah. Qo’idah secara bahasa berarti asas atau dasar kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Sedangkan qo’idah secara istilah seperti yang disampaikan Ibnul Mulaqqin (Qowaid;I/24) adalah: “Hukum-hukum yang bersifat global yang melingkupi keseluruhan (global) juz’iyahnya. Ketika kata qo’idah terangkai dengan kata fiqhiyyah maka pengertiannya adalah (Ibid) : “Hukum-hukum fiqih yang bersifat menyeluruh (universal) yang melingkupi hukum-hukum juz’iyyat (parsial) “. Contoh qo’idah adalah “segala sesuatu itu sesuai dengan tujuannya“. Ini adalah hukum yang berlaku umum atau universal. Hukum ini bisa masuk kedalam berbagai masalah dalam fiqih. Ia masuk dalam masalah niat wudlu, niat tayammum, solat, puasa, waqaf, dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk definisi dari fiqih sendiri secara bahasa dan istilah telah dipaparkan di atas.
Dari uraian pengertian mengenai qowa’id maupun fiqih maka yang dimaksud dengan qowa’id fiqih adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Musthafa az-Zarqa, qowai’d fiqih ialah dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut. Selanjutnya menurut Imam Tajjudin as-Subki:
“Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu“.
Sedangkan menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy qowa’id fiqhiyyah adalah kaedah-kaedah atau teori-teori yang mengikat masalah-masalah yang sama dalam satu ikatan.
Dapat disimpulkan bahwa qowa’id fiqih adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Dasar pengambilan qowaid fiqhiyyah Masih menurut ibnul Mulaqqin, Dasar pengambilan qowaid fiqhiyyah adalah masalah-masalah fiqih serta dalil fiqih yang bersifat tafshili. Jika diamati, qowaid fiqhiyyah menjadi semacam kesimpulan yang didapat dari hukum-hukum fiqh serta dalil-dalilnya sehingga ditemukan satu kesamaan yang mendasari hukum beberapa masalah. Kesamaan hukum itulah yang kemudian dijadikan sebagai kaedah fiqih yang kemudian bisa dikembangkan untuk menjawab masalah-masalah yang lain yang mempunyai kesamaan. Secara garis besar ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah bisa dibedakan sebagai berikut (lihat, Qowa’id ibnul Mulaqqin, I/32) Ushul fiqih berisi dalil-dali global yang kemudian diterapkan dalam dalil-dalil yang lebih rinci. Sedangkan qoidah fiqhiyyah berisi hukum-hukum global yang diambil dari dalil-dalil terperinci.
Secara teori ushul fiqih lebih dulu ada dan digunakan sebelum qoidah fiqhiyyah. Karena qoidah fiqhiyah merupakan hasil dari penggunaan ushul fiqih. Ruang lingkup pembahasan ushul fiqih adalah dalil-dalil global. Sedangkan qoidah fiqhiyyah ruang lingkupnya adalah af’alul mukallaf. ringkasnya, ushul fiqih itu mengolah dalil sedangkan qoidah fiqhiyyah itu hukum-hukum global yang dicetuskan oleh dalil tersebut dan berhubungan langsung dengan aktifitas mukallaf.[7]
D. Hubungan ushul fiqh, fiqh dan qawa’id Al-fiqhiyyah
Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id al-fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyahmerupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.
Hubungan ushul fiqih dengan fiqih adalah seperti hubungan ilmu mantiq (logika) dengan filsafat; mantiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam berpikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa arab; ilmu nahwu sebagai gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang didalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian ushul fiqih diumpamakan dengan limu mantiq atau ilmu nahwu, sedangkan fiqih seperti ilmu filsafat atau bahasa arab, sehingga ilmu ushul fiqih berfungsi menjaga agar tidak terjadi kesalahan dalam mengistinbatkan hukum.[8]
Objek fiqih adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mausia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun objek ushul fiqih adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut sama-sama membahas dalil-dalil syara’, tetapi tinjauannya berbeda. Fiqih membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia, sedangkan ushul fiqih meninjau dari segi metode penetapan, klasifikasi argumetasi, serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.[9]
Ushul fiqih merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqih, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum ulama menetapkan suatu perkara itu haram, ia telah mengkaji dasar-dasar yang menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya disebut fiqih, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Kemudian tujuan dari pada ushul fiqih itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam mendapatkan hukum syara’ dan cara-cara untuk menginstinbatkan suatu hukum dari dalil-dalilnya. Dengan menggunakan ushul fiqih itu, seseorang dapat terhindar dari jurang taklid. Ushul fiqih itu juga sebagai pemberi pegangan pokok atau sebagai pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu.Dapat dikatakan bahwa ushul fiqih sebagai pengantar dari fiqih, memberikan alat atau sarana kepada fiqih dalam merumuskan, menemukan penilaian-penilaian syari’at dan peraturan-peraturannya dengan tepat.
Hukum yang digali dari dalil atau sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil atau sumbernya (nash al-Qur’an dan as-Sunnah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih. Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”.
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut.
Fiqih membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip rukun Islam dan hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu hubungan diantara Qowa’id al- fiqhiyah dengan fiqih sangat erat sekali karena qowa’id fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukalaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”الضرار يزال“ bahaya itu wajib dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara ushul fiqih dengan qowa’id fiqih.
Qowa’id fiqih merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya. Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan kunci berfikir guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan demikian qawa’id al fiqhiyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fiqih ke arah pemecahan problema hukum masyarakat.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Fiqih adalah ilmu yang bersifat aplikatif, artinya siap untuk di amalkan dan memang dirumuskan untuk diamalkan dalam bentuk-bentuk peribadatan, muamalah atau yang lain.
2. Ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya yang harus ditempuh oleh orang yang berkompeten.
3. Qowa’i fiqih adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Bahwasannya Qawaid Fiqhiyah, Qawaid Ushuliyah, fiqih dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena ke empat hukum ini selalu berkaitan antara satu dengan yang lainnya . qawa’id al-fiqhiyyah terkadang selalu menopang fiqh dan ushul fiqh. Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id al- fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyah merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.
B. Saran
Demikian makalah ini kami susun, kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami senantiasa mengharapkan kontribusi konstruktif dari para pembaca dalam bentuk saran maupun kritik yang konstruktif demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
A Rahman, Asjmuni. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Djalali, Basiq. 2010. Ilmu ushul fiqh. Jakarta: Kencana.
Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal. Bandung: PT Remaja.
Hidayatullah, Syarif. 2012. Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah). Depok: Gramata Publishing.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. 1997. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Syahar, Saidu. 1996. Asas-asas hukum Islam. Bandung: Alumni.
Yasin dan Solikul Hadi. 2008. Fiqh Ibadah, Kudus: STAIN Kudus
[1]Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: PT Remaja, 2014), h. 1.
[3]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,1997), h. 3.
[4]Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), (Depok: Gramata Publishing, 2012), h. 32
[5] Ibid h 33
[6]Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta : Prenadamedia Group,2016), h.1
[7]Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.11
[8] Hasbiyallah, Op. Cit., h. 4
[10] Basiq Djalali, Ilmu ushul fiqh , (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17