MAKALAH MUNASABAH AL-QUR'AN


MAKALAH MUNASABAH AL-QUR'AN
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kalam Allah. yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad Saw. yang sampai kepada umat manusia dengan caraal-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalammushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa sistimatikan al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya, itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf tentang urutan surat dalam al-Qur’an. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi. Golongan kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad. Kehadiran al-Qur’an dan misi risalah Rasulullah Saw selalu mengudang perhatian berbagai pihak untuk mengadakan studi. Aspek kajiannya terus berkembang baik dari aspek ilmiah maupun aspek non ilmiah. Hal ini barangkali dikarenakan oleh mu’jizat al-Qur’an. Keajaiban al-Qur’an seperti air laut tak pernah kering untuk ditimba. Ia lalu memeberikan inspirasi kepada manusia tanpa habis-habisnya. 
B.  Rumusan Masalah
1.      Pengertian munasabah ?
2.      Macam-macam munasabah alquran ?
3.      Sikap ulama Terhadap AlQur’an ?
C.  Tujuan 
1.      Untuk Mengetahui Pengertian munasabah.
2.      Untuk Mengetahui Macam-macam munasabah alquran.
3.      Untuk Mengetahui Sikap ulama Terhadap AlQur’an
 BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Munasabah
Mun­­asabah secara etimologi berarti kecocokan, kesesuaian atau kepantasan. Kata munasabah secara etimologi menurut as-Suyuthi berarti al-Musakalah(keserupaan) dan dan al-Muqabarah (kedekatan). Sedangkan menurut terminologi dapat difinisikan sebagai berikut, Menurut az-Zarkasyi, munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu menerimannya. Menurut Ibnu al-Araby, munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Menurut al-Biqai, munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui  alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an baik ayat atau surat dengan surat. M. Quraisy Shihab memberi pengertian munasabah sebagai kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an, baik surah maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu ayat dengan yang lainnya. Menurut Manna’ al-Qattan, munasabah adalah segala pertalian antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat atau antara ayat dengan ayat dalam banyak ayat atau antara surat dengan surat.
Dengan kata lain ilmu munasabah al-Qur’an adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau suatu surat dengan surat lainnya. Hubungan itu dapat berupa hubungan umum dengan khusus, hubungan logis (‘aqli) atau hubungan konsekuensi logis seperti hubungan sebab dengan akibat, hubungan dua hal yang sebanding atau berlawanan.

B.   Macam-Macam Munasabah al-Qur’an
1. Munasabah antara surah dengan surah
Keserasian hubungan atau munasabah antar surah ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surah dengan surah lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surah-surah yang lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya baik secara umum maupun secara parsial. salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surah beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah. (1), Q. S al-baqarah dan Q. S Al-Imran.
Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah al-Fatihah:
Artinya: “Tunjukan kami ke jalan yang lurus
Lalu dijelaskan di dalam surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan:
Artnya: “Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”.
2. Munasabah antara satu surat dengan surat sebelumnya
Untuk mencari munasabah antara satu surat dengan surat sebelumnya, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa satu surat berfungsi menerangkan atau menyempurkan ungkapan pada surat sebelumnya. Sebagai contoh dalam surat al-Bawarah [2] ayat 152 dan 182:
فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون
Ayat-ayat dari surat ini menerangkan dan menyemprnakan dari surat sebelumnya al-fatihah [1] ayat 2:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Begitu juga ayat 21-22 surat al-Baqarah [2]:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {21} الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآءَ بِنَآءًوَأَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Merupakan penyempurnaan dari ungkapan (رَبِّ الْعَالَمِينَ)dalam surat al-fatihah.
3. Munasabah Antara Nama Surah Dengan Kandungan Isinya
Nama suatu surah pada dasarnya bersifat tauqifi. Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah dengan isi ini dapat di indentifikasikan sebagai berikut :
a.    Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surah. Nama surah al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.    Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surah : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c.    Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan ; al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.   Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surah. Contoh al-Hajj ( dengan spesifik tema haji ), al-Nisa ( dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa yang berarti kaum wanita adalah lambang keharmonisan rumah tangga.
e.    Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surah, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad dan Qaf.
4. Munasabah Antara Satu Kalimat Lainnya Dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan ciri-ciri ta’kid / tasydid ( penguat / penegasan ) dan tafsir / I’tiradh ( interfretasi / penjelasan dan ciri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
فإن لم تفعلوا “ , dikuti “ ولن تفعلوا” ( Q.S al-Baqarah / 2 : 24 ).
Contoh tafsir :
سبحان الذى اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الأقصى
Kemudian diikuti dengan
الذى باركنا حوله لنريه من اياتنا ( الإسراء / 17
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘ athaf ‘ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a.       Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah.
Salah satu contoh :
ولئن سألتهم من خلق السماوات والأرض __ ليقولون الله __ قل الحمد لله ( لقمان : 25 )
b.      Munasabah berbentuk istishrad ( penjelasan lebih lanjut ). Contoh :
يسألونك عن الأهلة ___ قل هى ___ ( البقرة / 2 : 189
c.       Munasabah berbentuk nazhir / matsil ( hubungan sebanding ) atau mudhaddah / ta’kis ( hubungan kontradiksi ). Contoh :
ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ___ ولكن البر … ( البقرة / 2 : 177
5. Munasabah Antara Nama Surat Dengan Tujuan Turunnya
Al-Biqai menjelaskan bahwa nama-nama surat al-Qur’an merupakan “inti pembahasan surat tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan”. Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang sangat menonjol, dan itu tercermin dalam nama-nama masing-masing surat, seperti surat al-Baqarah, surat yusuf, surat an-Naml, dan surat al-Jinn. Cerita tentang sapi betina dalam surat al-Baqarah umpamanya merupakan inti pembicaraan surat tersebut, yaitu kekuasaan Allah membangkitkan orang mati. Surat Yusuf mengisahkan Nabi Yusuf a.s. yang dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya, kemudian setelah menjadi orang istana ia difitnah memperkosa Zulaekha, permasuri penguasa Mesir, padahal justru wanita itu yang berusaha memaksa Yusuf melakukan pembuatan tidak terpuji. Surat al-Jinn yang mengisahkan bahwa Jin adalah mahluk yang juga sering mendengarkan bacaan al-Qur’an, dsb. Singkat cerita semua nama surat mencerminkan isi dari surat itu.
6. Munasabah Antara Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surah
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surah tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat diawal Q.S al-Baqarah 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surah al-Mu’minun dimulai dengan :
قد أفلح المؤمنون 
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surah ini ditemukan kalimat :
انه لا يفلح الكافرون
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
7. Munasabah Antara Penutup Ayat Dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin ( mengukuhkan isi ayat ), al-Tashdir ( memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya ), al-Tausyih ( mempertajam relevansi makna ) dan al-Ighal ( tambahan penjelasan ).
Sebagai contoh :
فتبارك الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقنا النطفة علقة  bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya ( al-Mukminun : 12 – 14 ). Kalimat-kalimat : لقوم                         يتفكرون , لقوم يعقلون , لقوم يفقهون  selalu menjadi sandaran isi ayat. Kata“halim” sangat erat hubungannya dengan ‘ibadat, sementara “rasyid” kuat hubungannya dengan al-amwal seperti bunyi ayat Q.S Hud : 87 berikut :
قالوا يا شعيب أصلاتك تأمرك أن نترك مايعبد اباؤنا أو أن نفعل فى أموالنا مانشاؤا إنك لأنت الحليم الرشيد
Sedangkan bentuk al-Ighal dapat dijumpai pada Q.S al-Naml ( 27 ) : 80 :
انك لاتسمع الموتى ولاتسمع الصم الدعاء إذا ولوا مد برين
Kata “Wallaw” yang artinya ‘bila mereka berpaling’ berfungsi sebagai penjelasan terhadap arti ( orang tuli ).
8. Munasabah Antara Awal Uraian Surah Dengan Akhir Uraian Surah
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kirmani bahwa Q.S al-Mu’minun diawali dengan “قد افلح المؤمنون “ ( respek Tuhan kepada orang-orang Mukmin ) dan diakhiri dengan “انه لايفلح الكافرين “ ( sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang Kafir ). Dalam Q.S al-Qashas, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surah dengan Nabi Muhammad Saw yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa As dan Muhammad Saw, serta jaminan Allah bahwa mereka akan memperoleh kemenangan.
9. Munasabah Antara Penutup Suatu Surah Dengan Awal Surah Berikutnya
Misalnya akhir surah al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surah berikutnya, yakni surah al-Hadid / 57 ayat 1 :
سبح الله مافى السموات والأرض وهو العزيز الحكيم
“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah ( menyatakan kebesaran Allah ). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
10. Munasabah Antar Ayat Tentang Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’I dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abd Allah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah(tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q.S al-Nisa ( 4 ) : 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم
Dan Q.S al-Mujadalah ( 58 ) : 11 :
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير
Tegaknya qiwamah ( konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa ) erat sekali kaitannya dengan faktor Ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q.S al-Nisa menunjuk kata kunci “Bima Fadhdhala” dan “al-Ilm” . Antara “Bima fadhdhala” dengan “yarfa’” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘Ilmu.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi ( tauqifi ). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam Kitab al-Qur’an.

C.  Sikap Ulama’ Mengenai Munasabah
Lahirnya teori tentang korelasi ini (baca munasabah) bermula dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana di dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan kronologis turunnya surat. Itulah yang menjadikan perbedaan pendapat di antara para ulama’.
Ada tiga pendapat yang berbeda mengenai tertib surat dalam Al-Qur’an , yaitu: Tauqify, menurut jumhur ulama’ bahwa tertib surat sebagaimana yang dijumpai dalam mushaf sekarang ini adalah tauqify alasannya dikarenakan setiap tahun Jibril datang menemui Nabi dalam rangka mendengarkan atau menyimak bacaan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi, selain itu pada mu’aradlah yang terakhir dihadiri oleh Zaid bin Tsabit dan di saat itu Nabi membacanya sesuai dengan tertib surat sekarang ini. Alasan berikutnya adalah adanya pendapat bahwa Nabi sering membaca Al-Qur’an dengan urutan surat seperti sekarang ini. Ijtihady, kelompok ini berkata demikian berdasarkan argumen bahwa tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah s.a.w. tentang urutan surat dalam Al-Qur’an, terdapat sahabat yang pernah mendengar Rasul membaca Al-Qur’an dan susunan suratnya berbeda dengan susunan yang sekarang ini. Maka dari itu kemudian muncullah empat buah mushaf yaitu Mushaf Ali, Mushaf Ubay, Mushaf Ibn Mas’ud, dan Mushaf Ibnu Abbas. Argumen yang terakhir dari kelompok ini adalah adanya perbedaan pada catatan mushaf sahabat sehingga hal ini membentuk asumsi bahwa susunan surat tidak mendapatkan petunjuk resmi dari Nabi. Tauqifiy dan Ijtihady, pendapat ketiga ini menyatakan bahwa urutan Al-Qur’an sebagian tauqifiy dan sebagian lagi ijtihady. Ini berdasarkan bahwasanya nama-nama surat di dalam Al-Qur’an tidak semuanya diberikan oleh Allah, sebagian nama surat ada yang diberi nama oleh Nabi, dan bahkan ada yang diberi nama oleh sahabat.
Ada yang berpendapat bahwa surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran diberi nama langsung oleh Allah, sedangkan surat Thaha dan Yasin merupakan nama yang diberikan oleh Nabi, dan surat Al-Baro’ah merupakan nama surat yang diberikan oleh sahabat.
Pendapat pertama (tauqify) ini didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakar dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani, dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan ibn Al-Faris. Pendapat yang terakhir dianut oleh Al-Baihaqi.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Ilmu munasabah merupakan salah satu bagian dari disiplin Ulumul Qur’an yang berfungsi untuk mengetahui relasi baik antara suatu ayat dengan ayat yang lain, maupun suatu surat dengan surat yang lain, dan seterusnya sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Adapun munculnya ilmu ini merupakan solusi atas pertanyaan orang-orang yang menyatakan bahwasanya tidak ada keselarasan dan keserasian di dalam Al-Qur’an. padahal di sisi lain Al-Qur’an memiliki pembahasan yang saling berkaitan. Ilmu ini menjadi sangat penting karena dapat membantu para mufasir untuk memahami kandungan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Karena, ada kalanya suatu pengertian dalam surat membutuhkan penjelasan dari pengertian surat yang lain.
Ditinjau dari segi linguistik, dengan menggunakan ilmu munasbah maka dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta penyesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
Bahkan Jalaluddin As-Suyuthiy, salah seorang pengarang Tafsir Jalalain, mengatakan bahwa: “Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia, sedikit sekali para ahli tafsir yang menaruh perhatian pada ilmu tersebut. Hal ini disebabkan karena sangat halusnya ilmu tersebut. Orang yang paling sering mengungkapkannya adalah Imam Fakhruddin. Ia mengatakan dalam tafsirnya, banyak sekali bagian-bagian halus dari al-Quran yang tersimpan dalam susunan ayat dan hubungan-hubungannya”.
 DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: Litera antarNusa. Cetakan kesepuluh.
Anwar, Abu. 2005. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Penerbit Amzah. Cetakan kedua.
Anwar, Rosihon. 2006. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. Cetakan ketiga.
Shihab, Muhammad Quraish. 2004. Wawasan Al-Quran. Bandung: PT Mizan Pustaka. Cetakan kelima belas.

Related Posts

Subscribe Our Newsletter