MAKALAH SAKRAL DAN FROFAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SAKRAL DAN FROFAN
sakral dan profan, lazim dijumpai dalam berbagai kajian ilmu sosial, filsafat, dan agama. Secara populer sakral artinya suci, disucikan, atau dianggap suci, sedangkan profan bermakna sebaliknya. Bagi muslim, bangunan Kakbah dan batu hitam (hajar aswad) yang melekat di tembok Kakbah, Mekkah, dianggap sakral, suci, bukan bangunan sembarangan dan bukan sembarang batu. Kakbah itu bahkan disebut baitullah dan hajar aswad itu simbol tangan Tuhan.[1]
Secara tekstual, baitullah berarti rumah Allah. Apakah berarti rumah milik Allah ataukah Allah bertempat di situ? Tentu bukan begitu maknanya. Semua langit dan bumi seisinya adalah milik Allah. Di situ terkandung konsep sakral, sesuatu yang dianggap suci. Dan Kakbah memiliki derajat kesucian istimewa karena semua bangunan masjid oleh umat Islam juga disebut tempat suci. Tempat ibadah agama lain, misalnya gereja, juga dipandang sebagai tempat suci. Tempat khusus untuk memuji Tuhan.
Secara tekstual, baitullah berarti rumah Allah. Apakah berarti rumah milik Allah ataukah Allah bertempat di situ? Tentu bukan begitu maknanya. Semua langit dan bumi seisinya adalah milik Allah. Di situ terkandung konsep sakral, sesuatu yang dianggap suci. Dan Kakbah memiliki derajat kesucian istimewa karena semua bangunan masjid oleh umat Islam juga disebut tempat suci. Tempat ibadah agama lain, misalnya gereja, juga dipandang sebagai tempat suci. Tempat khusus untuk memuji Tuhan.
Contoh lain yang sakral dan yang profan misalnya gerakan salat dan senam. Keduanya sama-sama gerak tubuh secara teratur dan terstruktur, tetapi senam tubuh diposisikan sebagai budaya yang bersifat profan.
Jadi yang disebut sakral selalu dikaitkan dengan keyakinan dan ritual keagamaan, sedangkan yang profan masuk pada kategori kebudayaan. Keduanya secara teori dan konsep bisa dibedakan, tetapi pada praktik dan kenyataannya sesungguhnya tidak bisa dipisahkan antara yang sakral dan yang profan, antara agama dan budaya.
Bangunan masjid, misalnya, sejak dari bahan, arsitektur, karpet, menara, dan seluruh wujud fisiknya adalah fenomena budaya tak ubahnya bangunan rumah. Hanya saja oleh masyarakat disepakati sebagai masjid, tempat suci, di mana entitas budaya tadi disakralkan sebagai instrumen keagamaan.
Bangunan masjid, misalnya, sejak dari bahan, arsitektur, karpet, menara, dan seluruh wujud fisiknya adalah fenomena budaya tak ubahnya bangunan rumah. Hanya saja oleh masyarakat disepakati sebagai masjid, tempat suci, di mana entitas budaya tadi disakralkan sebagai instrumen keagamaan.
Begitu pun bahasa Arab adalah bahasa budaya. Tapi ketika dipinjam atau dipilih Tuhan untuk mewadahi wahyu yang diterima Nabi Muhammad, bahasa Arab itu lalu disakralkan. Terjadi sakralisasi budaya.
Tapi proses sakralisasi ini kadang melewati batas proporsinya. Misalnya model pakaian budaya Arab yang dikenakan Nabi juga oleh sebagian orang disakralkan, dianggap sebagai pakaian keagamaan.
Mengenakan gamis model Arab diidentikkan dengan mengikuti sunah Rasulullah, padahal sejatinya adalah fenomena budaya, bukan agama. Wilayah profan, bukan sakral. Dulu orang-orang kafir yang memusuhi Rasulullah juga sama pakaiannya.
Jadi bagi mereka yang menganut paham sekularisme, semua yang ada ini profan, sekuler, duniawi, tak ada kualitas ilahi di dalamnya. Tapi ada pula yang membedakan antara entitas sakral, yang suci atau disucikan, dan entitas yang duniawi, sekuler, yang masuk ranah budaya.
Makanya ada ungkapan, yang agama jangan dibudayakan, yang budaya jangan diagamakan. Lebih ekstrem lagi, sesungguhnya yang suci secara absolut itu hanyalah Allah semata. Selain Allah dianggap suci atau disucikan karena menjadi instrumen dalam peribadatan untuk memuji dan menyucikan Allah. Meski begitu, jika ditarik pada tataran kesadaran dan perilaku batin orang beriman, semua tindakan yang diniati sebagai sujud dan berserah diri kepada Tuhan adalah suci. Bekerja mencari rezeki (uang) juga tindakan sakral karena menjalankan perintah Tuhan. Apa pun kegiatannya yang dimaksudkan dan diarahkan sebagai amal saleh adalah suci, sebagai ibadah, tidak semata salat.
Tapi proses sakralisasi ini kadang melewati batas proporsinya. Misalnya model pakaian budaya Arab yang dikenakan Nabi juga oleh sebagian orang disakralkan, dianggap sebagai pakaian keagamaan.
Mengenakan gamis model Arab diidentikkan dengan mengikuti sunah Rasulullah, padahal sejatinya adalah fenomena budaya, bukan agama. Wilayah profan, bukan sakral. Dulu orang-orang kafir yang memusuhi Rasulullah juga sama pakaiannya.
Jadi bagi mereka yang menganut paham sekularisme, semua yang ada ini profan, sekuler, duniawi, tak ada kualitas ilahi di dalamnya. Tapi ada pula yang membedakan antara entitas sakral, yang suci atau disucikan, dan entitas yang duniawi, sekuler, yang masuk ranah budaya.
Makanya ada ungkapan, yang agama jangan dibudayakan, yang budaya jangan diagamakan. Lebih ekstrem lagi, sesungguhnya yang suci secara absolut itu hanyalah Allah semata. Selain Allah dianggap suci atau disucikan karena menjadi instrumen dalam peribadatan untuk memuji dan menyucikan Allah. Meski begitu, jika ditarik pada tataran kesadaran dan perilaku batin orang beriman, semua tindakan yang diniati sebagai sujud dan berserah diri kepada Tuhan adalah suci. Bekerja mencari rezeki (uang) juga tindakan sakral karena menjalankan perintah Tuhan. Apa pun kegiatannya yang dimaksudkan dan diarahkan sebagai amal saleh adalah suci, sebagai ibadah, tidak semata salat.
B. PENGERTIAN SIMBOL
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, simbol diartikan sebagai lambang , sedangkan simbolesme diartikan dengan prihal pemakaian sibol (lambang) untuk mengekspresikan ede-ede (masalah sastra dan seni).[2]secara termenologis, sebagaiu mana dikatakan oleh leach, simbol merupakan penyampaian makna dan
sebuah kombinasi. Leach berpegangan bahwa “kode-kode” dalam berbagai budaya nempunyai potensi untuk mentransformasikan kode-kode lainnya, menunjukan pesan yang sama agar dapat menguraikan pesan dari bentuk bentuk budaya dan menetapkan apa makna yang terbuat dalam adat kebiasaan.
Berbeda dengan leach , caisier memandang bahwa antara tanda dan simbol memiliki dua dunia wacana yang berbeda. Tanda terdapat dalam dunia yang bersifat fisik ia sebagai “operator” yang di dalam nya terdapat hubungan “enterinsik” atau “natural” antara tanda dan apa yang ditandai ‘ simbol merupakan “artifisial”,”penunjuk” dan termasuk dalam makna mana manusia.dalam pengertian ini, pengetahuan manusia pada dasar-nya simbolik. Penting di perhatikan dalam pernyataan leach adalah gagasan bahwa simbolik tidak dapat di pahami secara terpisah dan tidak ada simbolk universal,meskipun ada beberpa tema simbolik umum. Setiap simbolik punya potensi poliseme.ia memiliki makna hanya ketika di pertentangkan engan simbol-simbol lainny sebagai bagian dari suatu ketuhanan.[3]
Dalam setiap upacar yang di selengarakan , akan tampak adanya sesuatu yang memberi di anggap sakral, suci atau sacred, yang berbeda dengan yang alami, empiris atau yang propan ,dalam sestem keyakinan merika bahwa pemberian pada kekuatan ghoib berbeda dengan pemberian terhadap yang lain . jadi mereka tidak asal tetapi berngakap dari sestem kognitif yang telah di peroleh dari para pendahulunya.
Saya kira dalam kehidupan bermasyarakat beragama , makna simbol-simbol agama yang di gunakan dalam kehidupan dan tradisi masyarakattidak selalu sama dengan apa yang dimaksud oleh agamanya, sebab penggunaan simbol hanya merupakan klaim dan dakwaan yang tidak seluhur apa yang di maksud agamanya. Penggunaan simbol-simbol dalam sebuah tradisi tak jarang menghipnotis masyarakat yang tidak menyadari dan memahami makna dari simbol yang digunakan nya. Dengan pandangan tersebut, saya stuju dengan levi-stauss yang berpandangan bahwa diseluruh dunia manusia menghadapi masalah intlektual berupa kontraksi dalam eksestensinya , seperti masalah hidup dan mati,sifat ganda,dikotomi jiwa dan raga , dan kontradiksi yang meliputi keturunannya.begitupun mitos juga di gunakan terus menerus untuk mengolah kontrdiksi denan mengatur nyadalam simbol.
Oleh karenanya saya melihat bahwa penggunaan simbol-simbol dalam setiap tradisi yang sya pelajari dapat meimbulkan berbagai ragam makna dan mungkin brubahmakna dan simbol yang di gunakan sesuai dengan perubahan dan perkembangan
C. HUBUNGAN SIMBOL DAN AGAMA
Agama sebagai sebuah institusi sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta imajinasi manusia tentang keberadaan yang gaib, yaitu tentang hakikat hidup dan maut dan tentang wujud dewa-dewa dan makhluk halus lainnya yang mendiami alam gaib. Keyakinan-keyakinan seperti itu biasanya diajarkan kepada manusia dari kitab-kitab suci agama yang bersangkutan atau dari mitologi dan dongeng-dongeng suci yang hidup dalam masyarakat. Sistem kepercayaan sangat erat hubungannya dengan sistem upacara-upacara keagamaan dan menentukan tata cara dari unsur-unsur, acara, serta keyakinan alat-alat yang dipakai dalam sebuah upacara.[4]
Tujuan sistem upacara keagamaan adalah untuk digunakan sebagai media hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahkluk halus yang mendiami alam gaib. Sistem upacara keagamaan ini melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Seluruh sistem upacara keagamaan terdiri dari aneka macam upacara. yang terdiri dari kombinasi berbagai macam unsur upacara, misalnya berdo’a, bersujud, sesaji, berkurban, dan sebagainya.
Kedudukan simbol dalam agama sebagaimana dapat dilihat dalam kegiatan atau upacara keagamaan. Tindakan simbolis dalam upacara keagamaan merupakan bagian sangat penting karena tindakan simbolis ini melambangkan komunikasi manusia dengan Tuhan. Simbolisme dalam agama dapat dilihat pada segala bentuk upacara keagamaan dalam bentuk-bentuk kisah nabi, mulai dari Nabi Adam as sampai dengan nabi Muhammad SAW.
Cara-cara berdo’a manusia dari dulu dampai sekarang selalu diikuti dengan tingkah laku simbolis, misalnya mengucapkan do’a sambil menengadahkan kedua telapak tangan dan seraya mendongakkan kepala ke atas, seolah siap menerima sesuatu dariTuhan.
Dalam hal inilah persepsi tentang penggunaan simbol menjadi sebagai salah satu ciri signifikan manusia yang akan menjadi sasaran penting dalam sosioligi dan disiplin lainnya.Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik secara ekpresif implicit. Edward tylor, perintis antropologi pada abad ke-19, misalnya menilis kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan pikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa yang keadirannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental.
D. AGAMA SEBAGAI FENOMENA SIMBOLIK
Berbagai fenomena simbolik yang lahir dari sebuah kepercayaan, dariberbagai ritual dan etika agama merupakan ungkapan simbolis yang bermakna agama. Pada aspek kepercayaan symbol menetapkan tanda realitastransenden didalam hubungan dengan kebenaran (wujud)-Nya Yang kudus, sehingga manusia dapat sampaipada pengenalan yang kudus dan trasenden. Dan fenomena yang kultus terdapat didalam agama-agama, adalah salah satu bentuk interpretative dari sebuah kepercayaan atau keyakinan agama yangdi repleksikan dalam berbagai bentuk persembahan dan pemujaan. Apabila dalam islam system kepercayaan berintikan kepada pemujaan zat yang maha Esa(tauhid) sebagai simbolis Tuhan Allah yang disembah, maka dalam agama lain pun juga demikian.
Contoh nya dalam symbol yaitu
Bulan & Bintang
Simbol ini secara realitasnya koheren dengan Islam, bulan bintang adalah simbolisme dari nabi atau rasul, yang melambangkan hati yang peka. Nabi dan rasul sebagai penghambar, sebagai atasan, penterjemah bahasa Ilahiyah dan lain-lain, tidak mungkin ia jalankan secara kekerasan kecuali dengan hati yang terbuka, sehingga mereka di simbolkan dengan orang yang terpilih seperti bulan. Bulan sabit dikaitkan dengan hati, berarti hati yang responsive terhadap cahaya Ilahi, cahaya Ilahi sendiri di simbolkan dengan bintang segi lima. Di sebutkan dengan bintang segi lima karena ketika cahaya itu terang ia mempunyai segi lima, ketika di pantulkan menjadi segi empat. Pada pembentukan pertama memberi makna pencipta sedangkan bentuk yang lainnya membri makna ketiadaan. Sebagai wujud alami manusia yang di mulai dari ada ke tiada.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim El Taufiq. Bercinta di Antara Ruang Sakral dan Profan. Jakarta.2003, mitra pustaka
https://myrepro.wordpress.com/2015/11/09/simbol-dan-agama
Brian Moris, Ntropologi Agama. Yogyakarta, 2003. AK Group