MAKALAH MANAJEMEN MASJID
“Masjid Sebagai Sentral Peribadahan”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masjid merupakan tempat sangat penting bagi umat Islam. Masjid memiliki fungsi banyak. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah mahdah shalat dan i`tikaf.
Masjid merupakan tempat ibadah multi fungsi. Masjid bukanlah tempat ibadah yang dikhususkan untuk shalat dan i`tikaf semata. Semua kegiatan positif dan bermanfaat bagi umat dapat dilakukan di masjid. Baik itu masalah agama atau masalah dunia yang tidak ada larangan syari`at untuk dilakukan di masjid seperti musyawarah perbaikan jalan.
Pada masa Rasulullah Shallallahu `alaihi wasalam masjid-masjid sangat makmur. Masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat shalat. Rasulullah menggunakan masjid sebagai sentral kegiatan.
Dalam dunia pendidikan Rasululah menggunakan masjid sebagai tempat pengajaran agama Islam. Pendidikan Islam memiliki hubungan erat dengan masjid. Pendidikan Islam merupakan motor atau mesin bagi masjid. Masjid tidak akan makmur jika jamaah atau masyarakat memiliki pendidikan Islam yang rendah. Pendidikan Islamlah yang mengajak mereka berbondongbondong menuju masjid, mengajarkan kepada mereka pentingnya shalat berjamaah. Bahkan masjid menjadi pusat pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Masjid?
2. Apa Fungsi dan Peran Masjid?
3. Apa Pengertian Shalat Sunah Rawatib?
4. Apa Definisi I’tikaf?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Masjid.
2. Untuk Mengetahui Fungsi dan Peran Masjid.
3. Untuk Mengetahui Pengertian Shalat Sunah Rawatib.
4. Untuk Mengetahui I’tikaf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masjid
Di lihat dari segi harfiah, perkataan masjid berasal dari kata bahasa Arab. Masjid berasal dari pokok sujudan, dengan fi’il madly sajada yang berarti tempat sujud atau tempat sembahyang, dan karena berupa isim makan, maka diberi awalan “ma” yang kemudian berubah kata menjadi masjidu. Umumnya dalam bahasa Indonesia huruf “a” menjadi “e”, sehingga kata masjid ada kalanya disebutkan dengan mesjid.[1]
Wahyudin Sumpeno memberikan pengertian masjid secara harfiah sebagai kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata pokoknya sujudan, masjidun yang berarti tempat sujud atau tempat shalat, sehingga masjid mengandung pengertian tempat melaksanakan kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat lima waktu yang diperintahkan Allah SWT. Pengertian lain tentang masjid, yaitu seluruh permukaan bumi, kecuali kuburan adalah tempat sujud atau tempat beribadah bagi umat Islam.[2]
B. Fungsi dan Peran Masjid
Pada masa sekarang Masjid semakin perlu untuk difungsikan, diperluas jangkauan aktivitas dan pelayanannya serta ditangani dengan organisasi dan management yang baik. Tegasnya, perlu tindakan meng-aktualkan fungsi dan peran Masjid. Meskipun fungsi utamanya sebagai tempat menegakkan shalat, namun Masjid bukanlah hanya tempat untuk melaksanakan shalat saja. Di masa Rasulullah SAW, selain dipergunakan untuk shalat, berdzikir dan beri'tikaf, Masjid bisa dipergunakan untuk kepentingan sosial.
Dalam perjalanan sejarahnya, Masjid telah mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk bangunan maupun fungsi dan perannya. Hampir dapat dikatakan, dimana ada komunitas muslim di situ ada Masjid. Memang umat Islam tidak bisa terlepas dari Masjid.
Di samping menjadi tempat beribadah, Masjid telah menjadi sarana berkumpul, menuntut ilmu, bertukar pengalaman, pusat da‟wah dan lain sebagainya. Banyak Masjid didirikan umat Islam, baik Masjid umum, Masjid Sekolah, Masjid Kantor, Masjid Kampus maupun yang lainnya. Masjid didirikan untuk memenuhi hajat umat, khususnya kebutuhan spiritual, guna mendekatkan diri kepada Pencipta-Nya. Tunduk dan patuh mengabdi kepada Allah SWT. Masjid menjadi tambatan hati, pelabuhan pengembaraan hidup dan energi kehidupan umat.[3]
Masjid memiliki fungsi dan peran yang dominan dalam kehidupan umat Islam, ialah Sebagai Tempat Beribadah Sesuai dengan namanya Masjid adalah tempat sujud, maka fungsi utamanya adalah sebagai tempat ibadah shalat. Sebagaimana diketahui bahwa makna ibadah di dalam Islam adalah luas menyangkut segala aktivitas kehidupan yang ditujukan untuk memperoleh ridha Allah, maka fungsi Masjid disamping sebagai tempat shalat juga sebagai tempat beribadah secara luas sesuai dengan ajaran Islam.
C. Pengertian Shalat
Pengertian shalat secara etimologi berarti do’a dan secara terminologi atau istilah dari para ahli fiqih membagi arti shalat secara lahir dan hakiki. Shalat secara lahiriah berarti perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan dengan itu kita beribadah kepada Allah SWT menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan (Sidi Gazalba,88).6 Dan secara hakikinya shalat ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua –duanya” (Hasbi Asy-Syidiqi,59)
Shalat juga diartikan sebagai salah satu sarana komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya, sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya terdapat amalan yang tersusun dari beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun shalat yang telah ditentukan (Imam Bashari Assayuthi, 30). Maka dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat ialah merupakan salah satuibadah kepada Allah, yang berupa perkataan/ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun shalat yang telah ditentukan dalam islam. Sedangkan shalat fardhu atau yang biasa disebut shalat wajib 5 waktu adalah shalat yang hukumnya fardhu (wajib), dimana shalat yang wajib dilaksanakan oleh semua umat muslim dan dikerjakan pada 5 waktu yaitu: subuh, dzuhur, ashar, maghrib dan isya’.[4]
v Syarat dan Rukun Shalat Fardhu (wajib)
Berikut beberapa syarat wajib shalat yang harus dipenuhi:
1. Beragama Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
Rukun-rukun yang harus di jalankan dalam shalat, yakni :
1. Niat
2. Berdiri bagi yang mampu
3. Takbiratul ikhram
4. Melafalkan surat Al-fatihah
5. Ruku’/membungkuk dengan tuma’ninah
6. I'tidal dengan tuma'ninah
7. Sujud dengan tuma’ninah
8. Duduk di antara dua sujud dengan tuma'ninah
9. Sujud kedua dengan tuma'ninah
10. Tasyahud
11. Melafalkan shalawat Nabi Muhammad SAW
12. Salam
Dalam islam terdapat syarat-syarat dan rukun-rukun shalat fardhu (wajib)
dimana syarat dan rukun shalat haruslah dijalankan agar sesuai dengan syari’at islam.
v Waktu dan Bacaan Niat Shalat Fardhu (wajib)
Shalat fardhu ada 5 waktu dan masing masing mempunyai waktu yang di tentukan. Setiap umat islam diperintahkan untuk menunaikan shalat-shalat itu di dalam waktunya masing masing.
Adapun waktu shalat fardhu (wajib) yang ditentukan dalam islam adalah sebagai berikut:[5]
1. Shalat Subuh
Waktunya dimulai dari terbitnya fajar shidiq, hingga terbitnya matahari. Yaitu antara pukul 04.00 – 5.30 pagi. Shalat subuh terdiri dari 2 raka’at.Niat Shalat Subuh:
Ushalli fardhash-shubhi rak'ataini mustaqbilal-qiblati adaa'an (ma'muuman / imaaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu subuh 2 raka’at, dengan
menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta’ala.
2. Shalat Dzuhur
Dilakukan pada waktu matahari mulai condong ke arah barat hingga panjang suatu benda menjadi sama dengan benda itu sendiri. Yaitu antara pukul 12.00 – 15.00 siang. Shalat dzuhur terdiri dari 4 raka’at. Niat Shalat Dzuhur:
Ushalli fardhazh-zhuhri arba'a raka'aatim mustaqbilal-qiblati adaa'an (ma'muman / imaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu dzuhur 4 raka’at, dengan menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta'ala.
3. Shalat Ashar
Waktunya dimulai setelah waktu dzuhur berakhir hingga matahari terbenam. Antara pukul 15.00-18.00 sore. Shalat ashar terdiri dari 4 raka’at.[6]
Niat Shalat Ashar:
Ushalli fardhal-'ashri arba'a raka'aatim mustaqbilal-qiblati adaa'an (ma'muman / imaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu ashar 4 raka’at, dengan menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta'ala.
4. Shalat Maghrib
Waktunya dimulai sejak terbenamnya matahari hingga hilangnya mega merah di langit. Yaitu antara pukul 18.00-19.00 sore. Shalat maghrib terdiri dari 3 raka’at.
Niat Shalat Maghrib:
Ushalli fardhal-maghribi tsalaatsa raka'aatim mustaqbilal-qiblati adaa'an (ma'muman / imaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu maghrib 3 raka’at, dengan menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta'ala.9
5. Shalat Isya’
Waktunya dimulai sejak hilangnya mega merah di langit atau setelah habisnya waktu shalat maghrib hingga terbitnya fajar. Yaitu antara pukul 19.00 – 04.30 malam. Shalat isya’ terdiri dari 4 raka’at.
Niat Shalat Isya’:
Ushalli fardhal-'isyaa'i arba'a raka'aatim mustaqbilal-qiblati adaa'an (ma'muman / imaman) lillaahi ta'aalaa.
Artinya: Aku berniat melakukan shalat fardhu maghrib 4 raka’at, dengan menghadap qiblat (ma’muman/imaman) karena Allah ta'ala.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat fardhu (wajib) harus sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan dalam islam, apabila tidak sesuai waktunya maka berlaku waktu yang tidak diperbolehkan shalat.
v Manfaat Shalat Fardhu (wajib)
Manfaat shalat fardhu (wajib) bagi umat Islam itu banyak sekali Adapun
manfaat shalat fardhu (wajib) bagi Umat Islam diantaranya:[7]
1. Shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar
2. Shalat menjauhkan dari sifat mengeluh dan kikir
3. Shalat mencegah dari berbagai macam kesesatan
4. Shalat menenangkan dan menentramkan hati
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manfaat dari shalat sangatlah banyak baik bagi jasmani maupun rohani jika shalat tersebut dilakukan secara baik dan benar dan teratur.
D. Shalat Sunnah Rawatib
Shalat sunnah adalah shalat yang dikerjakan di luar shalat fardhu. Shalat sunnah banyak macamnya, ada yang dikerjakan secara berjamaah dan ada pula yang dikerjakan secara munfarid (sendirian). Shalat sunnah secara garis besar diklasifikasikanmenjadi dua macam, yaitu shalat sunnah rawatib dan sunnah selain rawatib (ghairu rawatib).[8]
Shalat sunnah rawatib yaitu shalat sunnah yang terbatas waktu dan jumlah rakaatnya, karena mengikuti dan mengiringi shalat fardhu lima waktu. Waktu mengerjakannya berada pada sebelum atau sesudah shalat fardhu lima waktu, yaitu dua rakaat atau empat rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat sesudah dzuhur, dua rakaat sesudah magrib, dua rakaat sebelum isya, dua rakaat sesudah isya, dua rakaat sebelum subuh.
Shalat ghairu rawatib merupakan sunnah yang dikerjakan dengan terikat pada waktu, tempat dan keadaan tertentu, misalnya sebagai berikut: shalat dhuha, shalat tahiyatul masjid, shalat qiyamullail (tahajud, tarawih, dan witir), shalat hari rayaidul fitri dan idul adhaAdapun beberapa kegiatan sunnah pada idul fitri dan idul adha yaitu mandi sebelum pergi ke tempat shalat, memakai pakaian terbaik yang dimiliki, memakai wewangian, makan sebelum shalat idul fitri dan shalat idul adha sesudahnya, senantiasa mengumandangkan takbir diperjalanan menuju tempat shalat, melewati jalan yang berbeda antara berangkat dan pulangnya.
E. Definisi I’tikaf
Ditinjau dari segi bahasa: I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat untuk melakukan sesuatu pekerjaan ; yang baik maupun yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian.
Adapun pengertian i’tikaf menurut istilah adalah berdiam di masjid dalam rangka ibadah dari orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (Lihat Fathul Bari 4 : 344)[9]
v Dalil-dalil Disyariatkannya I’tikaf
Firman Allah Swt
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah : 187)
dalam hadits ‘Aisyah R.A berkata :
“Adalah Nabi SAW beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah Swt”. (HR. Bukhari dan Muslim)
v Hukum I’tikaf
a. Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal memasukkannya ke dalam sunnah muakkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya. Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melakukannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar R.A bahwasanya beliau pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah SAW bersabda :
“Tunaikan nazarmu itu”. HR. Bukhari dan Muslim
b. Hukum i’tikaf ini berlaku baik untuk muslim ataupun muslimah sebagaimana yang kabarkan oleh Shafiyyah R.A ketika beliau menziarahi Nabi SAW pada saat i’tikaf :
“Adalah Nabi SAW (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat istri-istri beliau (sedang beri’tikaf pula)…”. HR. Bukhari dan Muslim.
Al Imam Ibnul Mundzir berkata: “Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta izin kepada suaminya dan jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya boleh mengeluarkannya (dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan (istrinya) lalu mau mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”. (Lihat Fathul Bari 4 : 351)
v Fadhilah (Keutamaan) I’tikaf
Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah lainnya, diantaranya:
1) I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi SAW untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr.
2) Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah.
3) I’tikaf juga membiasakan jiwa untuk senang berlama-lama tinggal dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut pada masjid.
4) I’tikaf akan menjaga puasa seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa. Dia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan telinga dari hal-hal yang diharamkan.
5) Dengan I’tikaf membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan manusia tenggelam dalam kenikmatannya.
v Waktu I’tikaf
I’tikaf boleh dikerjakan kapan saja, namun lebih ditekankan pada bulan Ramadhan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah SAW Dan lebih utama dikerjakan pada sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr sebagaimana yang ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri R.A.
I’tikaf yang wajib harus dikerjakan sesuai jumlah hari yang telah dinazarkan, sedangkan i’tikaf yang sunnah tidak ada batasan maksimalnya dan hal ini disepakati oleh keempat ulama madzhab, dan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal ketika beri’tikaf hal ini berdasarkan atsar dari Umar R.A dimana beliau mengabarkan kepada Nabi SAW tentang nazar beliau untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepadanya untuk menunaikan nazarnya. Imam Nawawi mengatakan : “Boleh seseorang beri’tikaf sesaat dan dalam waktu yang singkat…”. )Al Minhaj 8 : 307)
Telah ikhtilaf ulama kita tentang kapan awal masuknya seseorang yang mau beri’tikaf ke dalam masjid. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam. Pendapat yang kedua mengatakan, bahwa i’tikaf baru dimulai sesudah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah R.A:
“Adalah Nabi SAW jika hendak beri’tikaf, beliau shalat shubuh kemudian masuk ke (mu’takaf) tempat i’tikafnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat ini dipegangi oleh Al Auza’iy, Al Laits dan Ats Tsauri serta dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Imam Ash Shon’ani.
Dari dua pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat yang kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama lebih berhati-hati. Wallahu A’lam.
v Syarat-syarat I’tikaf
Orang yang beri’tikaf memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhinya yaitu:
Seorang muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),berakal, dan suci dari janabat, haidh, serta nifas.
v Rukun-rukun I’tikaf
1. Niat, karena tidak sah suatu amalan melainkan dengan niat.
2. Tempatnya harus di masjid. Dalilnya firman Allah Swt yang artinya:
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah : 187)
Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita, dalam hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf di masjid rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi SAW melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Dan berkata Al Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- tentang i’tikafnya istri-istri Nabi SAW di masjid : “Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di masjid, karena seandainya tidak, tentu para istri-istri Nabi SAW akan beri’tikaf di rumah-rumah mereka karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau berdiam di rumah”. (Fathul Bari 4 : 352)
v Masjid yang Sah Dipakai I’tikaf
Para ulama telah berikhtilaf tentang syarat masjid yang sah untuk di gunakan i’tikaf namun diantara pendapat-pendapat yang ada maka pendapat yang pertengahan dan paling dekat dengan kebenaran adalah I’tikaf harus dilaksanakan di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah padanya karena shalat berjama’ah bagi laki-laki hukumnya wajib.[10]Hal ini berdasarkan atsar ‘Aisyah R.A yaitu:“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah”. (HR. Ad Daraqutni dan Al Baihaqi)
Pendapat ini dipegangi pengikut madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad serta perkataan Hasan Al Bashri dan ‘Urwah bin Zubair . Ibnu Qudamah menjelaskan:“Disyaratkannya i’tikaf di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah, karena shalat jama’ah itu wajib, dan ketika seseorang beri’tikaf di masjid yang tidak dilaksanakan shalat jama’ah akan mengakibatkan salah satu dari dua hal : meninggalkan shalat jama’ah yang merupakan kewajiban, yang kedua keluar untuk shalat di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah dan hal ini akan sering berulang padahal masih mungkin untuk menghindarinya, dan sering keluar dari tempat i’tikaf itu bertentangan dengan maksud/tujuan i’tikaf …”. (Al Mughni 4 : 461)
Jika seseorang i’tikaf di masjid jama’ah yang tidak dilaksanakan shalat Jum’at maka pada hari Jumat wajib atasnya untuk keluar shalat Jum’at dan i’tikafnya tidak batal karena dia keluar disebabkan udzur yang dibenarkan syariat dan hal tersebut hanya sekali dalam sepekan, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Said bin Jubair, Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakhaaiy, Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Dawud Azh Zhohiri, Ibnu Qudamah, dan lain-lain.
v Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf
1) Jima’ (bersetubuh/ bersenggama).
Dalilnya firman Allah Swt yang artinya:
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)
2) Murtad.
3) Hilang akal.
4) Haidh dan Nifas.
5) Keluar dari masjid tanpa hajat yang dibolehkan, walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid membatalkan i’tikaf karena tinggal di masjid adalah rukun i’tikaf.
v Adab-adab I’tikaf
Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikannya dan berusaha untuk melaksanakannya. Diantara adab-adab tersebut adalah :
1. Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.
2. Membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW, terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka wajib atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari ikhtilat (bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis.
3. Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di pihak yang benar
4. Juga hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan berkata-kata yang kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya bertambah pada saat i’tikaf.
5. Dan secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat hendaknya ditinggalkan, karena semua hal itu akan mengurangi pahala beri’tikaf
v Hal-hal yang Dibolehkan Sewaktu I’tikaf
1. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits Aisyah R.A ia berkata :
“Dan adalah Rasulullah SAW jika sedang beri’tikaf di masjid, kadang beliau memasukkan kepalanya maka saya menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena kebutuhan yang manusiawi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Malik berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf hingga dia meninggalkan hal-hal yang harus dia tinggalkan seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan masuk ke rumah kecuali ada hajat insan
Imam Az Zuhri menafsirkan hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan buang air besar, dan kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar masjid disebabkan kedua hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir.
2. Menyisir rambut, mencukurnya, memotong kuku dan membersihkan badan dari berbagai kotoran”.(Lihat :Ma’alim As Sunan 2 : 578)
3. Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.
4.Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika beliau diziarahi oleh istri beliau Shofiyyah .
5. Makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan menjaga kebersihan dan kemuliaan masjid.
v Khatimah
Seseorang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya mempertimbangkan maslahat dan mudharat. Jika dia adalah seorang pemuda yang sangat dibutuhkan oleh orang tuanya maka hendaknya dia mendahulukan hak orang tuanya karena hal tersebut wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf maka itulah yang utama. Demikian pula dengan orang yang bekerja di bidang jasa dan kepentingan masyarakat umum hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan sungguh Allah Swt Maha Mengetahui apa yang diniatkan oleh hamba-hamba-Nya.
Adapun bagi mereka yang Allah Swt muliakan dengan memberikan kesempatan untuk beri’tikaf di tahun ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, raihlah hikmah dan faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya serta jauhkanlah dari hal-hal yang terlarang dan janganlah menjadi orang yang i’tikafnya tidak ubahnya dari sekedar berpindah tempat tidur saja. Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini anda bisa mendapatkan malam yang lebih mulia dari seribu bulan : “Lailatul Qadr”. (Al Fikrah)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masjid merupakan tempat sangat penting bagi umat Islam. Masjid memiliki fungsi banyak. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah mahdah shalat dan i`tikaf. Masjid memiliki fungsi dan peran yang dominan dalam kehidupan umat Islam, ialah Sebagai Tempat Beribadah Sesuai dengan namanya Masjid adalah tempat sujud, maka fungsi utamanya adalah sebagai tempat ibadah shalat. Sebagaimana diketahui bahwa makna ibadah di dalam Islam adalah luas menyangkut segala aktivitas kehidupan yang ditujukan untuk memperoleh ridha Allah, maka fungsi Masjid disamping sebagai tempat shalat juga sebagai tempat beribadah secara luas sesuai dengan ajaran Islam.
B. Saran
Sebelumnya saya penyusun makalah ini mohon ma’af apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata-kata, dan makalah saya pun di sini belum sempurna. Untuk itu sekiranya apabila masih di rasa pembaca masih belum cukup bahasan-bahasan di dalam makalah ini di sarankan untuk member saran terhadap kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, Cetakan V, 1989).
Wahyudin Supeno, Perpustakaan Masjid, Pembinaan dan Pengembangannya,ed. Abdul Hamid, (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cetakan I, 1984).
Aunur Rahim Faqih dan Amir Mu’allim, Ibadah & Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998).
Sahriansyah, Ibadah dan Akhlak…,
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008).
Rifa’I Moh. Drs. H. Fiqih Islam Lengkap. TP. Karya Toha Putra. Jakarta, 5 Mei 1978.
Al-Hasbyi Bagir. M. Fiqih Praktis, M. ZAN. Bandung, Februari 1999.
[1] Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, Cetakan V, 1989), hal 118
[2] Wahyudin Supeno, Perpustakaan Masjid, Pembinaan dan Pengembangannya,ed. Abdul Hamid, (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cetakan I, 1984), hal. 1
[4] Aunur Rahim Faqih dan Amir Mu’allim, Ibadah & Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998), hlm. 22
[6] Sahriansyah, Ibadah dan Akhlak…, hlm. 7
[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hlm.1
[10] Al-Hasbyi Bagir. M. Fiqih Praktis, M. ZAN. Bandung, Februari 1999.